Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy mengatakan, pada
pelaksanaan Pendaftaran Peserta Didik Baru (PPDB) pada tahun 2018, belum semua
sekolah menggunakan seleksi jarak dalam menerima peserta didik baru. Tahun lalu masih ditemukan oknum
masyarakat yang melakukan penyimpangan dengan menggunakan Surat Keterangan
Tidak Mampu (SKTM) untuk mendaftarkan anaknya di sekolah tujuan. Karena itu
mulai tahun ini Kemendikbud menerapkan kebijakan baru yang menetapkan bahwa
SKTM tidak bisa lagi digunakan sebagai syarat dalam seleksi PPDB.
“Banyak
orang mengaku jadi keluarga miskin, yang dipilih adalah sekolah idaman,” ujar
Mendikbud saat Taklimat Media tentang PPDB, Selasa (15/1/2019). Menurutnya, hal
tersebut bertentangan dengan aturan yang berlaku sehingga tujuan dari kebijakan
zonasi tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Senada
dengan Mendikbud, Staf Ahli Menteri Bidang Regulasi Pendidikan dan Kebudayaan,
Chatarina Muliana Girsang mengatakan bahwa seleksi ditentukan dari jarak.
“Sekolah wajib menerapkan kuota zonasi minimal 90% termasuk di dalamnya bagi
anak-anak tidak mampu.” Ia menjelaskan, seiring dengan tidak berlakunya lagi
SKTM dalam proses PPDB, siswa yang tidak mampu dapat melampirkan Kartu Keluarga
Sejahtera (KKS), Kartu Indonesia Pintar (KIP) maupun kartu lain yang sejenis
seperti Kartu Jakarta Pintar (KJP) sebagai penanda keluarga miskin.
Berdasarkan
Permendikbud Nomor 51 Tahun 2018 tentang PPDB, pada pasal 19 disebutkan, kuota
paling sedikit 90 persen dalam jalur zonasi termasuk kuota bagi peserta didik
tidak mampu dan/atau anak penyandang disabilitas pada sekolah yang
menyelenggarakan layanan inklusif. Peserta didik baru yang berasal dari
keluarga ekonomi tidak mampu dibuktikan dengan bukti keikutsertaan peserta
didik dalam program penanganan keluarga tidak mampu dari pemerintah pusat atau
pemerintah daerah.
Mendikbud
juga menekankan bahwa basis data keluarga miskin cukup dari penerima KIP atau
kartu sejenis baik yang menjadi program pemerintah pusat maupun daerah. Selain
itu, bagi keluarga miskin yang belum memiliki kartu-kartu tersebut, dapat
meminta sekolah untuk membuat rekomendasi. Caranya, sekolah pada jenjang
sebelumnya melampirkan surat rekomendasi berisi data historis yang menyatakan
bahwa benar siswa yang bersangkutan terdaftar sebagai siswa miskin. Dengan
begitu, kebijakan zonasi dapat diterapkan lebih optimal. “Saya berharap terjadi
perubahan pola melalui kebijakan PPDB tahun ini. Jika dulu siswa mendaftar ke
sekolah, sekarang sekolah yang proaktif mendaftar peserta didiknya,” tutur
Mendikbud.
Peraturan
mengenai Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) tahun 2019 merupakan bentuk
peneguhan atas kebijakan zonasi yang sudah diterapkan sebelumnya. Permendikbud
Nomor 51 Tahun 2018 tentang PPDB sekaligus menjadi cetak biru yang akan digunakan
Kemendikbud dalam memecahkan masalah yang teridentifikasi ada di sektor formal
maupun informal pendidikan agar dapat dicarikan solusinya secara terintegrasi
dan menyeluruh.
Mendikbud
mengakui banyak polemik yang terjadi di tengah masyarakat dalam menyikapi
kebijakan zonasi pada tahun lalu, karena itu Kemendikbud terbuka dengan saran
dan kritik, sehingga melakukan penyempurnaan atas pelaksanaan PPDB sebelumnya.
Upaya penyempurnaan tersebut salah satunya dilakukan dengan menerbitkan
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 51 Tahun 2018 tentang
Penerimaan Peserta Didik Baru pada Taman Kanak-kanak, Sekolah Dasar, Sekolah
Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas dan Sekolah Menengah Kejuruan di awal
tahun 2019.
“Kita
punya waktu lima bulan untuk sosialisasi dan (kita butuh) support dari
masyarakat. Kita mengharapkan proses dalam PPDB tahun ini lebih mulus,” ujar
Mendiknbud.
Untuk
mendukung kebijakan PPDB 2019, Kemendikbud juga telah bekerja sama dengan
Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) untuk integrasi data kependudukan dan
catatan sipil dengan data pokok pendidikan (Dapodik), serta memastikan
ketentuan zonasi yang dipersyaratkan berjalan dengan baik. (Denty
Anugrahmawaty/Desliana Maulipaksi)