Kompetensi Pedagogik
Penulis:
Prof. Dr. Sunardi, M.Sc dan Dr. Imam Sujadi, M.Si. Penelaah:
Prof. Dr. rer. nat. Sadjidan, M.Si
BAB I
KARAKTERISTIK SISWA
A. Tujuan
Modul
ini disusun untuk menjadi bahan belajar bagi guru terkait materi karakteristik
siswa. Tujuan belajar yang akan dicapai adalah memahami tahap-tahap
perkembangan siswa sehingga dapat menyediakan materi pelajaran dan metode
penyampaian yang sesuai dengan karakteristik siswa sesuai dengan tahap perkembangannya
B. Indikator
Pencapaian Kompetensi
1.
Kompetensi Inti
Menguasai
karakteristik siswa dari aspek fisik, moral, kultural, emosional, dan intelektual
2.
Kompetensi Guru Mata Pelajaran
a.
Memahami
karateristik siswa yang berkaitan dengan aspek fisik, intelektual,
sosial-emosional, moral, spiritual, dan latar belakang sosial budaya sesuai
dengan tahap perkembangannya
b.
Menyiapkan
dan materi pelajaran sesuai dengan tingkat perkembangannya.
c.
Marancang
kegiatan pembelajaran sesuai dengan karakteristik siswa berdasarkan pada tahap
perkembangannya.
C. Uraian Materi
Siswa
sebagai subyek pembelajaran merupakan individu aktif dengan berbagai karakteristiknya,
sehingga dalam proses pembelajaran terjadi interaksi timbal balik, baik antara
guru dengan siswa maupun antara siswa dengan siswa. Oleh karena itu, salah satu
dari kompetensi pedagogik yang harus dikuasai guru adalah memahami
karakteristik anak didiknya, sehingga tujuan pembelajaran, materi yang
disiapkan, dan metode yang dirancang untuk menyampaikannya benar-benar sesuai
dengan karakteristik siswanya.
Perbedaan
karakteristik anak salah satunya dapat dipengaruhi oleh perkembangannya.
Psikologi perkembangan membahas perkembangan individu sejak masa konsepsi,
yaitu masa pertemuan spermatozoid dengan sel telur sampai dengan dewasa.
1. Metode dalam
psikologi perkembangan
Ada
dua metode yang sering dipakai dalam meneliti perkembangan manusia, yaitu longitudinal dan cross sectional. Dengan metode longitudinal, peneliti mengamati dan
mengkaji perkembangan satu atau banyak orang yang sama usia dalam waktu yang
lama. Misalnya penelitan Luis Terman (dalam Clark, 1984) yang mengikuti perkembangan
sekelompok anak jenius dari masa prasekolah sampai masa dewasa waktu mereka
sudah mencapai karier dan kehidupan yang mapan.
Perbedaan
karakteristik setiap saat itulah yang diasumsikan sebagai tahap perkembangan.
Penelitian dengan metode longitudinal mempunyai kelebihan, yaitu kesimpulan
yang diambil lebih meyakinkan, karena membandingkan karakteristik anak yang sama
pada usia yang berbeda-beda, sehingga setiap perbedaan dapat diasumsikan
sebagai hasil perkembangan dan pertumbuhan. Tetapi, metode ini memerlukan waktu
sangat lama untuk mendapat hasil yang sempurna.
Dengan
metode cross sectional, peneliti
mengamati dan mengkaji banyak anak dengan berbagai usia dalam waktu yang sama.
Misalnya, penelitian yang pernah dilakukan oleh Arnold Gessel (dalam Nana
Saodih Sukmadinata, 2009) yang mempelajari ribuan anak dari berbagai tingkatan
usia, mencatat ciri-ciri fisik dan mentalnya, pola-pola perkembangan dan
memampuannya, serta perilaku mereka.
Perbedaan
karakteristik setiap kelompok itulah yang diasumsikan sebagai tahapan perkembangan.
Dengan pendekatan cross-sectional, proses penelitian tidak memerlukan waktu
lama, hasil segera dapat diketahui. Kelemahannya, peneliti menganalisis
perbedaan karakteristik anak-anak yang berbeda, sehingga diperlukan
kehati-hatian dalam menarik kesimpulan, bahwa perbedaan itu semata-mata karena
perkembangan.
2. Pendekatan dalam
psikologi perkembangan
Manusia
merupakan kesatuan antara jasmani dan rohani yang tidak dapat dipisah-pisahkan.
Manusia merupakan individu yang kompleks, terdiri dari banyak aspek, termasuk
jsamani, intelektual, emosi, moral, sosial, yang membentuk keunikan pada setiap
orang. Kajian perkembangan manusia dapat menggunakan pendekatan menyeluruh atau
pendekatan khusus (Nana Sodih Sukmadinata, 2009). Menganalisis seluruh segi
perkembangan disebut pendekatan menyeluruh /global. Segala segi perkembangan
dideskripsikan dalam pendekatan ini, seperti perkembangan fisik, motorik, sosial,
intelektual, moral, intelektual, emosi, religi, dsb.
Walaupun
demikian, untuk mempermudah penelitian, pembahasan dapat dilakukan per aspek
perkembangan. Misalnya, ada peneliti yang memfokuskan kajiannya pada perkembangan
aspek fisik saja, aspek intelektual saja, aspek moral saja, aspek emosi saja,
dsb. Inilah yang dikenal dengan pendekatan khusus (spesifik).
3. Teori perkembangan
Ada
berbagai teori perkembangan. Dalam buku ini akan dibahas beberapa teori yang
sering menjadi acuan dalam bidang pendidikan, yaitu teori yang termasuk teori
menyeluruh / global ( Rousseau, Stanley Hall, Havigurst), dan teori yang termasuk
khusus / spesifik (Piaget, Kohlbergf, Erikson), seperti yang diuraikan dalam
Nana Saodih Sukmadinata (2009).
a. Jean Jacques
Rousseau
Jean
Jacques Rousseau merupakan ahli pendidikan beraliran liberal yang menjadi
pendorong pembelajaran discovery.
Rousseau mulai mengadakan kajian pada 1800an. Menurut Rousseau, perkembangan
anak terbagi menjadi empat tahap, yaitu
1)
Masa bayi / infancy (0-2 tahun).
Oleh
Rousseau, usia antara 0-2 tahun adalah masa perkembangan fisik. Kecepatan
pertumbuhan fisik lebih dominan dibandingkan perkembangan aspek lain, sehingga
anak disebut sebagai binatang yang sehat.
2)
Masa anak / childhood (2-12 tahun)
Masa
antara 2-12 tahun disebut masa perkembangan sebagai manusia primitive. Kecuali masih terjadi
pertumbuhan fisik secara pesat, aspek lain sebagai manusia juga mulai
berkembang, misalnya kemampuan berbicara, berpikir, intelektual, moral, dll.
3)
Masa remaja awal / pubescence (12-15
tahun)
Masa
usia 12-15, disebut masa remaja awal / pubescence,
ditandai dengan perkembangan pesat intelektual dan kemampuan bernalar juga
disebut masa bertualang.
4)
Masa remaja / adolescence (15-25
tahun)
Usia
15-25 tahun disebut masa remaja / adolescence.
Pada masa ini tejadi perkembangan pesat aspek seksual, sosial, moral, dan
nurani, juga disebut masa hidup sebagai manusia beradab.
b. Stanley Hall
Stanley
Hall, seorang psikolog dari Amerika Serikat, merupakan salah satu perintis
kajian ilmiah tentang siklus hidup (life
span) yang berteori bahwa perubahan menuju dewasa terjadi dalam sekuens
(urutan) yang universal bagian dari proses evolusi, parallel dengan
perkembangan psikologis, namun demikian, faktor lingkungan dapat mempengaruhi
cepat lambatnya perubahan tersebut. Misalnya, usia enam tahun adalah usia masuk
sekolah di lingkungan tertentu, tetapi ada yang memulai sekolah pada usia lebih
lambat di lingkungan yang lain. Konsekuensinya, irama perkembangan anak di
kedua lingkungan tersebut dapat berbeda. Stanley Hall membagi masa perkembangan
menjadi empat tahap, yaitu:
1)
Masa kanak-kanak / infancy (0-4
tahun)
Pada
usia-usia ini, perkembangan anak disamakan dengan binatang, yaitu melata atau
berjalan.
2)
Masa anak / childhood (4-8 tahun)
Oleh
Hall, masa ini disebut masa pemburu, anak haus akan pemahaman lingkungannya,
sehingga akan berburu kemanapun, mempelajari lingkungan sekitarnya.
3)
Masa puber / youth (8-12 tahun)
Pada
masa ini anak tumbuh dan berkembang tetapi sebagai makhluk yang belum beradab.
Banyak hal yang masih harus dipelajari untuk menjadi makhluk yang beradab di
lingkungannya, seperti yang berkaitan dengan sosial, emosi, moral, intelektual.
4)
Masa remaja / adolescence (12 –
dewasa)
Pada
masa ini, anak mestinya sudah menjadi manusia beradab yang dapat menyesuaikan
diri dengan lingkungan dan dunia yang selalu berubah. Perspektif life span seperti yang dipelopori oleh
Stanley Hall dkk. Dapat dibuktikan pada tahap masa remaja sampai dewasa.
Misalnya, pada masyarakat tertentu yang masih terbelakang, anak justru cepat
menjadi dewasa. Karena pendidikan hanya tersedia sampai sekolah dasar, masyrakat
cenderung mulai bekerja dan berkeluarga dalam usia muda.
Sebaliknya,
pada masyarakat yang semua warganegaranya mencapai pendidikan tinggi, anak-anak
menjadi dewasa pada usia yang lebih lanjut.
c. Robert J.
Havigurst
Robert
J. Havigurst dari Universitas Chicago mulai mengembangkan konsep developmental task (tugas perkembangan)
pada tahun 1940an, yang menggabungkan antara dorongan tumbuh / berkembang
sesuai dengan kecepatan pertumbuhannya dengan tantangan dan kesempatan yang
diberikan oleh lingkungannya. Havigurst menyusun tahap-tahap perkembangan
menjadi lima tahap berdasarkan problema yang harus dipecahkan dalam setiap
fase., yaitu:
1)
Masa bayi / infancy (0 – ½ tahun)
2)
Masa anak awal / early childhood (2/3
– 5/7 tahun)
3)
Masa anak / late childhood (5/7 tahun
– pubesen)
4)
Masa adolesense awal / early adolescence
(pubesen – pubertas_)
5)
Masa adolesence / late adolescence
(pubertas – dewasa)
Menurut
teori ini, dalam perkembangan, anak melewati delapan tahap perkembangan (developmental stages). Ada sepuluh tugas
perkembangan yang harus dikuasai anak pada setiap fase, yaitu:
1)
Ketergantungan
– kemandirian
2)
Memberi
– menerima kasih sayang
3)
Hubungan
sosial
4)
Perkembangan
kata hati
5)
Peran
biososio dan psikologis
6)
Penyesuaian
dengan perubahan badan
7)
Penguasaan
perubahan badan dan motorik
8)
Memahami
dan mengendalikan lingkungan fisik
9)
Pengembangan
kemampuan konseptual dan sistem symbol
10)
Kemampuan
melihat hubungan dengan alam semesta.
Dikuasai
atau tidaknya tugas perkembangan pada setiap fase akan mempengaruhi penguasaan
tugas-tugas pada fase berikutnya.
d. Jean Piaget
Jean
Piaget latar belakangnya adalah pakar biology
dari Swiss yang hidup pada tahun 1897 sampai tahun 1980 (Harre dan Lamb),
1988). Teori-teorinya dikembangkan dari hasil pengamatan terhadap tiga orang
anak kandungnya sendiri, kebanyakan berdasarkan hasil pengamatan pembicaraanya
dengan anak atau antar anak-anak sendiri. Piaget lebih memfokuskan kajiannya
dalam aspek perkembangan kognitif anak dan mengelompokkannya dalam empat tahap,
yaitu:
1)
Tahap sensorimotorik (0-2 tahun)
Tahap
ini juga disebut masa discriminating
dan labeling. Pada masa ini kemampuan
anak terbatas pada gerak-gerak reflex, bahasa awal, dan ruang waktu sekarang
saja.
2)
Tahap praoperasional (2-4 tahun)
Pada
tahap praoperasional, atau prakonseptual, atau disebut juga dengan masa
intuitif, anak mulai mengembangkan kemampuan menerima stimulus secara terbatas.
Kemampuan bahasa mulai berkembang, pemikiran masih statis, belum dapat berpikir
abstrak, dan kemampuan persepsi waktu dan ruang masih terbatas.
3)
Tahap operasional konkrit (7-11 tahun)
Tahap
ini juga disebut masa performing
operation. Pada masa ini, anak sudah mampu menyelesaikan tugas-tugas
menggabungkan, memisahkan, menyusun, menderetkan, melipat, dan membagi.
4)
Tahap operasonal formal (11-15 tahun)
Tahap
ini juga disebut masa proportional
thinking. Pada masa ini, anak sudah mampu berpikir tingkat tinggi, seperti
berpikir secara deduktif, induktif, menganalisis, mensintesis, mampu berpikir
secara abstrak dan secara reflektif, serta mampu memecahkan berbagai masalah.
e. Lawrence Kohlberg
Mengacu
kepada teori perkembangan Piaget yang berfokus pada perkembangan kognitif,
Kohlberg lebih berfokus pada kognitif moral atau moral reasoning.
Kemampuan kognitif moral seseorang dapat diukur dengan menghadapkannya dengan
dilemna moral hipotesis yang terkait dengan kebenaran, keadilan, konflik
terkait aturan dan kewajiban moral.
Manurut
Kohlberg, perkembangan moral kognitif anak terbagi menjadi tiga tahapan, yaitu:
1) Preconventional moral reasoning
a)
Obidience and paunisment orientation
Pada
tahap ini, orientasi anak masih pada konsekuensi fisik dari perbuatan benar –
salahnya, yaitu hukuman dan kepatuhan. Mereka hormat kepada penguasa,
penguasalah yang menetapkan aturan / undang-undang, mereka berbuat benar untuk
menghindari hukuman.
b)
Naively egoistic orientation
Pada
tahap ini, anak beorientasi pada instrument relative.
Perbuatan benar adalah perbuatan yang secara instrument memuaskan keinginannya
sendiri dan (kadang-kadang) juga orang lain. Kepeduliannya pada keadilan /
ketidakadilan bersifat pragmatic,
yaitu apakah mendatangkan keuntungan atau tidak.
2) Conventional moral reasoning
a)
Good boy orientation
Pada
tahap ini, orientasi perbuatan yang baik adalah yang menyenangkan, membantu,
atau diaepakati oleh orang lain. Orientasi ini juga disebut good / nice boy orientation. Anak patuh
pada karakter tertentu yang dianggap alami, cenderung mengembangkan niat baik, menjadi
anak baik, saling berhubungan baik, peduli terhadap orang lain.
b)
Authority and social order maintenance
orientation
Pada
tahap ini, orientasi anak adalah pada aturan dan hukum. Anak menganggap
perlunya menjaga ketertiban, memenuhi kewajiban dan tugas umum, mencegah
terjadinya kekacauan system. Hukum dan perintah penguasa adalah mutlak dan
final, penekanan pada kewajiban dan tugas terkait dengan perannya yang diterima
di masyarakat dan publik.
3) Post conventional moral reasoning
a)
Contractual legalistic orientation
Pada
tahap ini, orientasi anak pada legalitas kontrak sosial. Anak mulai peduli pada
hak azasi individu, dan yang baik adalah yang disepakati oleh mayoritas
masyarakat. Anak menyadari bahwa nilai (benar/salah, baik/buruk, suka/tidak
suka, dll) adalah relative, menyadari bahwa hukum adalah instrumen yang
disetujui untuk mengatur kehidupan masyarakat, dan itu dapat diubah melalui
diskusi apabila hukum gagal mengatur masyarakat.
b)
Conscience or principle orientation
Pada
tahap ini, orientasi adalah pada prinsip-prinsip etika yang bersifat universal.
Benar-salah harus disesuaikan dengan tuntutan prinsip-prinsip etika yang
bersifat ini sari dari etika universal. Aturan hukum legal harus dipisahkan
dari aturan moral. Masing-masing (hukum legal dan moral) harus diakui terpisah,
masing-masing mempunyai penerapannya sendiri, tetapi tetap mengacu pada
nilai-nilai etika / moral.
f. Erick Homburger
Erickson
Erickson
merupakan salah seorang tokoh psikoanalisis pengikut Sigmund Freud. Dia
memusatkan kajiannya pada perkembangan psikososial anak. Menurut Erickson
(dalam Harre dan Lamb, 1988), dalam perkembangan, anak melewati delapan tahap
perkembangan (developmental stages),
disebut siklus kehidupan (life cycle)
yang ditandai dengan adanya krisis psikososial tertentu. Teori Erickson ini
secara luas banyak diterima, karena menggambarkan perkembangan manusia mencakup
seluruh siklus kehidupan dan mengakui adanya interaksi antara individu dengan
kontek sosial. Kedelapan tahap tersebut digambarkan pada table 1.1.
Tabel 1.1:
Perkembangan Psikososial Erickson
TAHAP
|
USIA
|
KRISIS
PSIKOSOSIAL
|
KEMAMPUAN
|
I
|
0-1
|
Basic
trust vs mistrust
|
Menerima, dan sebaliknya,
memberi
|
II
|
2-3
|
Autonomy
vs shame and doubt
|
Menahan atau
membiarkan
|
III
|
3-6
|
Initiative
vs guilt
|
Menjadikan
(seperti) permainan
|
IV
|
7-12
|
Industry
vs inferiority
|
Membuat atau
merangkai sesuatu
|
V
|
12-18
|
Identity
vs role confusion
|
Menjadi diri
sendiri, berbagi konsep diri
|
VI
|
20an
|
Intimacy
vs isolation
|
Melepas dan mencari
jati diri
|
VII
|
20-50
|
Generativity
vs stagnation
|
Membuat, memelihara
|
VIII
|
>50
|
Ego
integrity vs despair
|
|
Pada
tahap Basic trust vs mistrust (infancy – bayi), anak baru mulai
mengenal dunia, perhatian anak adalah mencari rasa aman dan nyaman. Lingkungan
dan sosok yang mampu menyediakan rasa nyaman / aman itulah yang dipercaya oleh
anak, sebalinya, yang menjadikan sebaliknya, cenderung tidak dipercaya. Rasa
aman dan nyaman ini terkait dengan kebutuhan primer seperti makan, minum,
pakaian, kasih sayang. Sosok ibu atau pengasuh biasanya sangat dipercaya karena
setiap mendatangkan kenyamanan. Sedangkan orang yang dianggap asing akan
ditolaknya.
Pada
tahap Autonomy vs shame and doubt (toddler – masa bermain), anak tidak
ingin sepenuhnya tergantung pada orang lain. Aanak mulai mempunyai keinginan
dan kemauan sendiri. Dalam masa ini, orangtua perlu memberikan kebebasan yang
terkendali, karena apabila anak terlalu dikendalikan / didikte, pada diri anak
dapat tumbuh rasa selalu was-was, ragu-ragu, kecewa.
Pada
tahap Initiative vs guilt (preschool
– prasekolah), pada diri anak mulai tumbuh inisiatif yang perlu difasilitasi,
didorong, dan dibimbing oleh orang dewasa di sekitarnya. Anak mulai
bertanggungjawab atas dirinya sendiri. Berbagai aktifitas fisik seperti
bermain, berlari, lompat, banyak dilakukan. Kurangnya dukungan dari lingkungan,
misalnya terlalu dikendalikan, kurangnya fasilitas, sehingga inisiatifnya
menjadi terkendala, pada diri anak akan timbul rasa kecewa dan bersalah.
Pada
tahap ini, Industry vs inferiority (schoolage – masa sekolah), anak cenderung
luar biasa sibuk melakukan berbagai aktifitas yang diharapkan mempunyai hasil
dalam waktu dekat. Keberhasilan dalam aktifitas ini akan menjadikan anak merasa
puas dan bangga. Sebaliknya, jika gagal, anak akan
merasa
rendah diri. Oleh karena itu, anak memerlukan bmbngan dan fasilitasi agar tidak
gagal dan setiap aktifitasnya.
Pada
tahap Identity vs role confusion (adolescence – remaja), anak dihadapkan pada
kondisi pencarian identittas diri. Jatidiri ini akan akan berpengaruh besar pada
masa depannya. Pengaruh lingkungan sangat penting. Lingkungan yang baik akan
menjadikan anak memiliki jati diri sebagai orang baik, sebaliknya lingkunganh
yang tidak baik anak membawanya menjadi pribadi yang kurang baik. Orang tua harus
menjamin bahwa anak berada dalam lingkungan yang baik, sehingga hal-hal yang
tidak diinginkan tidak terjadi, misalnya menjadi anggota geng anak nakal, anak
jalanan, pemabuk, narkoba, dll., adalah disebabkan karena anak keliru dalam
membangun identitas diri.
Pada
tahap Intimacy vs isolation (young adulthood – dewasa awal), anak
mulai menyadari bahwa meskipun dalam banyak hal memerlukan komunikasi dengan
masyarakat dan teman sebaya, dalam hal-hal tertentu, ada yang memang harus
bersifat privat. Ada hal-hal yang hanya dibicarakan dengan orang tertentu, ada
orang tertentu tempat mencurahkan isi hati, memerlukan orang yang lebih dekat
secara pribadi, termasuk pasangan lawan jenis. Kegagalan pada tahp ini dapat
mengakibatkan anak merasa terisolasi di kehidupan masyarakat.
Tahap
Generativity vs stagnation (middle adulthood – dewasa tengah-tengan)
menandai munculnya rasa tanggungjawab atas generasi yang akan datang. Bentuk
kepedulian ini tidak hanya dalam bentuk peran sebagai orangtua, tetapi juga
perhatian dan kepeduliannya pada anak-anak yang merupakan generasi penerus. Ada
rasa was-was akan generasi penerusnya (keturunannya), seperti apakah mereka
nanti, bahagiakah, terpenuhi kebutuhannyakah? Atau akan stagnan, bertenti sama
sekali.
Tahap
ini, Ego integrity vs despair (later adulthood – dewasa akhir), adalah tahap
akhir dari siklus kehidupan. Individu akan melakukan introspeksi, mereview
kembali perjalanan kehidupan yang telah dilalui dari hari ke hari, dari tahun
ke tahun, dari karier satu ke karier lainnya. Yang paling diharapkan adalah
jika tidak ada penyesalan.