Pancasila
sebagai dasar Negara Indonesia mengandung konsekuensi bahwa setiap aspek
penyelenggaraan negara harus di dasarkan pada Pancasila. Hal ini mengandung
maksud bahwa setiap penyelenggaraaan negara mulai dari pusat sampai di tingkat
desa maupun RT harus sesuai dan berdasarkan pada nilai-nilai yang terkandung
pada sila-sila Pancasila. Setiap sikap dan tingkah
laku
para penyelenggara Negara, penyelenggara pemerintahan maupun warga negara harus
berdasarkan nilai-nilai Pancasila. Sehingga semua penyelenggaraan kehidupan
bernegara harus dilakukan dan bersumber pada nilai-nilai Pancasila. Notonagoro
mendeskripsikan bahwa pengamalan
(realisasi)
Pancasila sebagai dasar negara adalah merupakan suatu realisasi atau pengamalan
Pancasila yang bersifat obyektif.
Bentuk
wujud pengamalan Pancasila dalam fungsi dan kedudukannya sebagai dasar negara
atau pengamalam obyektif Pancasila adalah melalui UUD 1945 sebagai hukum dasar
tertinggi. Hal ini mengandung arti bahwa dalam penyelenggaraan kehidupan
bernegara harus selalu sesuai dan bersumber pada UUD 1945.
Namun
demikia implementasi Pancasila secara obyektif dalam kenegaraan mustahil akan
terlaksana dengan baik tanpa didukung oleh realisasi Pancasila subyektif. Pengamalan
Pancasila obyektif merupakan pengamalan yang dilakukan dalam kehidupan
bernegara dengan selalu patuh pada aturan main yang ada baik oleh penyelenggara
negara, warga negara maupun penyelenggara pemerintahan. Pengamalan Pancasila
subyektif merupakan pengamalan yang dilakukan oleh setiap individu warga
negara, penyelenggara negara dan penyelenggara pemerintahan yang didasarkan
pada nilai moral masyarakat atau bangsa. Oleh karenanya dalam kaitan ini
Notonagoro mengatakan pelaksanaan Pancasila subyektif merupakan persyaratan
bagi keberhasilan pelaksanaan Pancasila obyektif. Lebih lanjut dikatakan
pelaksanaan Pancasila obyektif akan gagal bilamana tidak didukung
oleh
realisasi pelaksanaan Pancasila subyektif baik oleh setiap warga,
terlebih-lebih oleh setiap penyelenggara Negara serta penyelenggara
pemerintahan. Dengan kata lain, dapat diartikan bahwa pelaksanaan Pancasila
Obyektif akan dapat terlaksana dengan baik manakala ada sinergi antara
kesadaran wajib hukum dan kesadaran wajib moral.
Sebagai
mahluk sosial, manusia cederung hidup berkelompok, bersuku-suku,
berbangsa-bangsa. Hal ini dilakukan untuk menjalin suatu hubungan yang
harmonis. Untuk hubungan yang harmonis inilah maka manusia harus meletakkan
dasar kemanusiaan dalam hubungan interaktif dengan sesama. Keharusan untuk
melaksanakan kewajiban ini merupakan suatu wajib moral yang harus ada pada
setiap warga negara. Dalam kehidupan kenegaraan sebagai lembaga kehidupan
kemasyarakatan hukum, ikatan kebersamaan dalam hidup bersama itu juga harus
terealisasi dalam suatu hukum positif sehingga konsekuensinya kewajiban itu
tidak hanya dalam batas-batas kewajiban moral, melainkan juga meliputi wajib
hukum.
Realisasi
Pancasila sebagai dasar Negara mewajibkan adanya sinergisitas antara kesadaran
wajib moral dan kesadaran wajib hukum. Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa
terjadi berbagai penyimpangan dan penyelewengan dalam kehidupan bernegara yang
dilakukan oleh penyelenggara negara merupakan bukti tidak adanya keseimbangan
dalam pelaksanaan Pancasila. Padahal di dalam penjelasan Pembukaan UUD 1945
dijelaskan bahwa UUD harus mengandung isi yang mewajibkan kepada pemerintah dan
penyelenggara negara untuk memegang teguh dan memelihara budi pekerti
kemanusiaan yang luhur dan memegang cita-cita rakyat yang luhur. Hal ini
menunnjukan pada kita semua bahwa dalam realisasi Pancasila dealam segala aspek
penyelenggaraan negara juga harus diwujudkan moralitas para penyelenggara
negaranya.