I. UMUM
Bahwa
kemerdekaan menyatakan pikiran dan kebebasan berpendapat serta hak memperoleh
informasi melalui penggunaan dan pemanfaatan Teknologi Informasi dan komunikasi
ditujukan untuk memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa
serta memberikan rasa aman, keadilan, dan kepastian hukum bagi pengguna dan Penyelenggara
Sistem Elektronik.
Dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, hak dan kebebasan melalui
penggunaan dan pemanfaatan Teknologi Informasi tersebut dilakukan dengan
mempertimbangkan pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud
semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan
orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan
moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) adalah
undang-undang pertama di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik
sebagai produk legislasi yang sangat dibutuhkan dan telah menjadi pionir yang
meletakkan dasar pengaturan di bidang pemanfaatan Teknologi Informasi dan
Transaksi Elektronik. Akan tetapi, dalam kenyataannya, perjalanan implementasi
dari UU ITE mengalami persoalan-persoalan.
Pertama,
terhadap Undang-Undang ini telah diajukan beberapa kali uji materiil di
Mahkamah Konstitusi dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-VI/2008,
Nomor 2/PUU-VII/2009, Nomor 5/PUU-VIII/2010, dan Nomor 20/PUU-XIV/2016.
Berdasarkan
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-VI/2008 dan Nomor 2/PUU-VII/2009,
tindak pidana penghinaan dan pencemaran nama baik dalam bidang Informasi
Elektronik dan Transaksi Elektronik bukan semata-mata sebagai tindak pidana
umum, melainkan sebagai delik aduan. Penegasan mengenai delik aduan dimaksudkan
agar selaras dengan asas kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat.
Berdasarkan
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-VIII/2010, Mahkamah Konstitusi
berpendapat bahwa kegiatan dan kewenangan penyadapan merupakan hal yang sangat
sensitif karena di satu sisi merupakan pembatasan hak asasi manusia, tetapi di
sisi lain memiliki aspek kepentingan hukum. Oleh karena itu, pengaturan (regulation)
mengenai legalitas penyadapan harus dibentuk dan diformulasikan secara tepat
sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Di samping
itu, Mahkamah berpendapat bahwa karena penyadapan merupakan pelanggaran atas
hak asasi manusia sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 28J ayat (2) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sangat wajar dan sudah sepatutnya
jika negara ingin menyimpangi hak privasi warga negara tersebut, negara
haruslah menyimpanginya dalam bentuk undang-undang dan bukan dalam bentuk
peraturan pemerintah.
Selain
itu, berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU-XIV/2016, Mahkamah
Konstitusi berpendapat bahwa untuk mencegah terjadinya perbedaan penafsiran
terhadap Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) UU ITE, Mahkamah menegaskan bahwa setiap
intersepsi harus dilakukan secara sah, terlebih lagi dalam rangka penegakan
hukum. Oleh karena itu, Mahkamah dalam amar putusannya menambahkan kata atau frasa
“khususnya” terhadap frasa “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik”.
Agar tidak terjadi penafsiran bahwa putusan tersebut akan mempersempit makna
atau arti yang terdapat di dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) UU ITE, untuk
memberikan kepastian hukum keberadaan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik sebagai alat bukti perlu dipertegas kembali dalam Penjelasan Pasal 5
UU ITE.
Kedua,
ketentuan mengenai penggeledahan, penyitaan, penangkapan, dan penahanan yang
diatur dalam UU ITE menimbulkan permasalahan bagi penyidik karena tindak pidana
di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik begitu cepat dan pelaku
dapat dengan mudah mengaburkan perbuatan atau alat bukti kejahatan.
Ketiga,
karakteristik virtualitas ruang siber memungkinkan konten ilegal seperti
Informasi dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar
kesusilaan, perjudian, penghinaan atau pencemaran nama baik, pemerasan dan/atau
pengancaman, penyebaran berita bohong dan menyesatkan sehingga mengakibatkan
kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik, serta perbuatan menyebarkan
kebencian atau permusuhan berdasarkan suku, agama, ras, dan golongan, dan
pengiriman ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi
dapat diakses, didistribusikan, ditransmisikan, disalin, disimpan untuk didiseminasi
kembali dari mana saja dan kapan saja. Dalam rangka melindungi kepentingan umum
dari segala jenis gangguan sebagai akibat penyalahgunaan Informasi Elektronik
dan Transaksi Elektronik, diperlukan penegasan peran Pemerintah dalam mencegah
penyebarluasan konten ilegal dengan melakukan tindakan pemutusan akses terhadap
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar
hukum agar tidak dapat diakses dari yurisdiksi Indonesia serta dibutuhkan
kewenangan bagi penyidik untuk meminta informasi yang terdapat dalam
Penyelenggara Sistem Elektronik untuk kepentingan penegakan hukum tindak pidana
di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik.
Keempat,
penggunaan setiap informasi melalui media atau Sistem Elektronik yang
menyangkut data pribadi seseorang harus dilakukan atas persetujuan Orang yang
bersangkutan. Untuk itu, dibutuhkan jaminan pemenuhan perlindungan diri pribadi
dengan mewajibkan setiap Penyelenggara Sistem Elektronik untuk menghapus
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak relevan yang berada
di bawah kendalinya atas permintaan Orang yang bersangkutan berdasarkan penetapan
pengadilan.
Berdasarkan
pertimbangan tersebut, perlu membentuk Undang-Undang tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
yang menegaskan kembali ketentuan keberadaan Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik dalam Penjelasan Pasal 5, menambah ketentuan kewajiban
penghapusan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak relevan
dalam Pasal 26, mengubah ketentuan Pasal 31 ayat (4) mengenai pendelegasian
penyusunan tata cara intersepsi ke dalam undang-undang, menambah peran
Pemerintah dalam melakukan pencegahan penyebarluasan dan penggunaan Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang dilarang dalam
Pasal 40, mengubah beberapa ketentuan mengenai penyidikan yang terkait dengan
dugaan tindak pidana di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik
dalam Pasal 43, dan menambah penjelasan Pasal 27 ayat (1), ayat (3), dan ayat
(4) agar lebih harmonis dengan sistem hukum pidana materiil yang diatur di
Indonesia.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal
I
Angka
1
Pasal
1
Cukup
jelas.
Angka
2
Pasal
5
Ayat
(1)
Bahwa
keberadaan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik mengikat dan diakui
sebagai alat bukti yang sah untuk memberikan kepastian hukum terhadap
Penyelenggaraan Sistem Elektronik dan Transaksi Elektronik, terutama dalam
pembuktian dan hal yang berkaitan dengan perbuatan hukum yang dilakukan melalui
Sistem Elektronik.
Ayat
(2)
Khusus
untuk Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik berupa hasil intersepsi
atau penyadapan atau perekaman yang merupakan bagian dari penyadapan harus
dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau
institusi lainnya yang kewenangannya ditetapkan berdasarkan undang-undang.
Ayat
(3)
Cukup
jelas.
Ayat
(4)
Huruf
a
Surat
yang menurut undang-undang harus dibuat tertulis meliputi tetapi tidak terbatas
pada surat berharga, surat yang berharga, dan surat yang digunakan dalam proses
penegakan hukum acara perdata, pidana, dan administrasi negara.
Huruf
b
Cukup
jelas.
Angka
3
Pasal
26
Ayat
(1)
Dalam
pemanfaatan Teknologi Informasi, perlindungan data pribadi merupakan salah satu
bagian dari hak pribadi (privacy rights). Hak pribadi mengandung pengertian
sebagai berikut:
a.
Hak
pribadi merupakan hak untuk menikmati kehidupan pribadi dan bebas dari segala
macam gangguan.
b.
Hak
pribadi merupakan hak untuk dapat berkomunikasi dengan Orang lain tanpa
tindakan memata-matai.
c.
Hak
pribadi merupakan hak untuk mengawasi akses informasi tentang kehidupan pribadi
dan data seseorang.
Ayat
(2)
Cukup
jelas.
Ayat
(3)
Cukup
jelas.
Ayat
(4)
Cukup
jelas.
Ayat
(5)
Cukup
jelas.
Angka
4
Pasal
27
Ayat
(1)
Yang
dimaksud dengan “mendistribusikan” adalah mengirimkan dan/atau menyebarkan
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik kepada banyak Orang atau
berbagai pihak melalui Sistem Elektronik.
Yang
dimaksud dengan “mentransmisikan” adalah mengirimkan Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Eletronik yang ditujukan kepada satu pihak lain melalui Sistem
Elektronik.
Yang
dimaksud dengan “membuat dapat diakses” adalah semua perbuatan lain selain
mendistribusikan dan mentransmisikan melalui Sistem Elektronik yang menyebabkan
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dapat diketahui pihak lain
atau publik.
Ayat
(2)
Cukup
jelas.
Ayat
(3)
Ketentuan
pada ayat ini mengacu pada ketentuan pencemaran nama baik dan/atau fitnah yang
diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Ayat
(4)
Ketentuan
pada ayat ini mengacu pada ketentuan pemerasan dan/atau pengancaman yang diatur
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Angka
5
Pasal
31
Ayat
(1)
Yang
dimaksud dengan “intersepsi atau penyadapan” adalah kegiatan untuk
mendengarkan, merekam, membelokkan, mengubah, menghambat, dan/atau mencatat
transmisi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat
publik, baik menggunakan jaringan kabel komunikasi maupun jaringan nirkabel,
seperti pancaran elektromagnetis atau radio frekuensi.
Ayat
(2)
Cukup
jelas.
Ayat
(3)
Cukup
jelas.
Ayat
(4)
Cukup
jelas.
Angka
6
Pasal
40
Ayat
(1)
Fasilitasi
pemanfaatan Teknologi Informasi, termasuk tata kelola Teknologi Informasi dan
Transaksi Elektronik yang aman, beretika, cerdas, kreatif, produktif, dan inovatif.
Ketentuan ini termasuk memfasilitasi masyarakat luas, instansi pemerintah, dan pelaku
usaha dalam mengembangkan produk dan jasa Teknologi Informasi dan komunikasi.
Ayat
(2) . . .
Ayat
(2)
Cukup
jelas.
Ayat
(2a)
Cukup
jelas.
Ayat
(2b)
Cukup
jelas.
Ayat
(3)
Cukup
jelas.
Ayat
(4)
Cukup
jelas.
Ayat
(5)
Cukup
jelas.
Ayat
(6)
Cukup
jelas.
Angka
7
Pasal
43
Ayat
(1)
Yang
dimaksud dengan “Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu” adalah Pejabat Pegawai
Negeri Sipil kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
komunikasi dan informatika yang telah memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Ayat
(2)
Cukup
jelas.
Ayat
(3)
Cukup
jelas.
Ayat
(4)
Cukup
jelas.
Ayat
(5)
Huruf
a
Cukup
jelas.
Huruf
b
Cukup
jelas.
Huruf
c
Cukup
jelas.
Huruf
d
Cukup
jelas.
Huruf
e
Cukup
jelas.
Huruf
f
Cukup
jelas.
Huruf
g
Cukup
jelas.
Huruf
h
Cukup
jelas.
Huruf
i
Cukup
jelas.
Huruf
j
Yang
dimaksud dengan “ahli” adalah seseorang yang memiliki keahlian khusus di bidang
Teknologi Informasi yang dapat dipertanggungjawabkan secara akademis maupun
praktis mengenai pengetahuannya tersebut.
Huruf
k
Cukup
jelas.
Ayat
(6)
Cukup
jelas.
Ayat
(7)
Cukup
jelas.
Ayat
(7a)
Cukup
jelas.
Ayat
(8)
Cukup
jelas.
Angka
8
Pasal
45
Cukup
jelas.
Pasal
45A
Cukup
jelas.
Pasal
45B
Ketentuan
dalam Pasal ini termasuk juga di dalamnya perundungan di dunia siber (cyber bullying) yang mengandung unsur
ancaman kekerasan atau menakut-nakuti dan mengakibatkan kekerasan fisik,
psikis, dan/atau kerugian materiil.
Download
Salinan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) silahkan
klik pada tautan berikut. Semoga
bermanfaat bagi kita semua.