Prosa nonfiksi ialah karangan yang tidak berdasarkan
rekaan atau khayalan pengarang, tetapi berisi hal-hal yang berupa informasi
faktual (kenyataan) atau berdasarkan pengamatan pengarang. Karangan ini
diungkapkan secara sistematis, kronologis, atau kilas balik dengan menggunakan
bahasa semiformal. Karangan ini berbentuk eksposisi, persuasi, deskripsi, atau
campuran. Prosa nonfiksi disebut juga karangan semiilmiah. Yang termasuk
karangan semi ilmiah ialah : artikel, tajuk rencana, opini, feature, tips,
biografi, reportase, iklan, pidato, dan sebagainya.
Artikel ialah karangan yang berisi uraian atau
pemaparan yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
(1) isi karangan bersumber pada fakta bukan sekadar
realita
(2) bersifat faktual dengan mengungkapkan data-data yang
diketahui pengarang bukan yang sudah umum diketahui (realita)
(3) uraian tidak sepenuhnya merupakan hasil pemikiran
pengarang, tapi mengungkapakan fakta sesuai objek atau narasumbernya
(4) isi artikel dapat memaparkan hal apa saja seperti,
pariwisata, kisah perjalanan, profil tokoh, kisah pengalaman orang lain, satir,
atau humor.
Contoh artikel (1)
berisi kisah perjalanan:
MENAPAK TANAH BADUI
Dan, Judistira Garna, sang antropolog dari UNPAD itu
pun bercerita tentang kearifan orang Badui, yang dalam kesederhanaan hidup
mampu membendung gencarnya kedatangan alam modern. Wawasan mereka yang dalam
tentang kehidupan seakan memberikan citra yang kebalikannya, bahwa masyarakat
Badui adalah masyarakat terasing.
Penasaran karena melihat begitu hormatnya Judistira
yang merupakan pakar yang paling top dalam Badui ini, sampai-sampai ia harus
meminta maaf sebelum ia bercerita tentang mereka, aku merasa ingin segera
mengangkat ransel menuju Banten, Jawa Barat, tempat suku yang begitu ketat
menjaga tradisinya itu bermukim. Ajakan ringan yang dilemparkan seorang sahabat
pun segera kutanggapi serius. Dan segera, berempat, kami berangkat ke sana.
Goyangan kereta api Tanah Abang-Rangkas Bitung,
gojlokan mobil colt tua yang berlari kencang, membawa kami ke rumah Pak
Sarkaya, penduduk Pasar Simpang, Desa Cibungur, Kecamatan Lewi Damar, Rangkas
Bitung. Pak Sarkaya terkenal sering main ke daerah Badui. Sebetulnya ada tempat
lain yang dapat mencapai daerah Badui lebih cepat, seperti yang ditawarkan
kenek-kenek mobil colt di Rangkas Bitung, tapi kami tidak merasa terburu-buru.
Malam itu juga, disertai doa dan titipan salam Pak
Sarkaya untuk Jaya, anak kepala suku Cibeo, kami bergerak perlahan menuju
Cibeo, satu dari tiga perkampungan Badui Dalam. Sebetulnya, empat jam berjalan
sudah akan dapat membawa kami, para peloncong alam, dari Ciboleger ke’pintu
gaerbang’ pemukiman Suku Badui. Namun, prinsip ’menikmati alam’ yang kami anut
membuat Ciboleger baru mulai kelihatan tujuh jam kemudian.
Desa Keduketuk adalah desa pertama yang kami jumpai,
salah satu dari sekian banyak desa suku Badui Luar yang ‘memagari’ tiga suku
Badui Dalam. Hitam adalah kesan menyeluruh penampilan orang-orang Badui Luar.
Celana komprang hitam selutut, baju kampret hitam lurik, dan ikat kepala
berwarna biru tua dan hitam merupakan pakaian sehari-hari khas mereka. Rokok
yng mereka isap memperlihatkan sikap ‘menerima’ kemajuan zaman.
Setelah ngobrol sedikit dengan warga desa ini, kami
kembali melanjutkan perjalanan. Kurang lebih lima buah bukit kami jejaki lewat
jalan setapak yang kadang-kadang terjal mendaki. Kelelahan selalu terobat oleh
h.aunya alam yang indah dan keramah-tamahan warga Badui Dalam yang sedang
berada di huma (ladang) masing-masing Keasyikan kami melangkah dikejutkan
seorang gadis cilik yang nyelonong ngelewati kami. Lho, dia ‘kan yang tadi
nyelonong di Ciboleger bersama ayahnya sambil menunggu kayu bakar siap? Ya, di
belakangnya, sang ayah melangkah tenang memikul kayu bakar. Mereka tersenyum
ramah, tidak ada tanda-tanda mengejek kami yang sudah kehabisan napas.
Begitu cepat mereka menyusuri jalan mendaki dengan
kaki terlanjang! Gelap turun. Si cilik dengan ayahnya sudah lama menghilang.
Hati-hati kami menapak bukit dengan bantuan senter-senter kecil menerang jalan.
Senda gurau warga Badui Dalam yang sedang dalam
perjalanan pulang dari humanya membuat kami tidak merasa sendirian atau takut
salah jalan. Dengan ramah, mereka memimpin jalan menuju perkampungan, santai
melenggang tanpa penerangan. Senter memang tabu bagi mereka. Tidak ada larangan
bagi kami untuk tetap menggunakannya, namun mereka pun tetap berpatokan pada
bintang-bintang di langit. Andai tak ada bintang?
Sebatang lilin yang ditempatkan di batok kepala
cukuplah buat mereka. Jaya menyambut kami di perkampungan. Dipersilakannya kami
membersihkan diri dengan air dari dalam potongan-potongan bambu sepanjang
setengah meter, yang tampaknya memang ada di tiap teras rumah penduduk Cibeo.
Rumah-rumah panggung beratap daun nira itu tidak
berpaku sebuah pun. Hanya pasak-pasak yang membuat rumah-rumah itu tegak
berdiri. Ventilasi berupa jendela hanya di rumah kepala suku, sedangkan rumah-rumah
lain sudah cukup puas dengan membuat lobang-lobang kecil di dinding yang
terbuat dari gedek. Tidak ada kursi, meja, atau tempat tidur.
Pakaian pun cuma di-buntel, ditaruh di tempat khusus
di langit-langit rumah. Perlengkapan memasak yang sangat tradisional diletakkan
saja tanpa alas di lantai rumah yang terbuat dari bambu.
Dengan perlengkapan memasak yang tradisional itulah,
mereka ramah menyediakan diri memasak supermi yang kami bawa. Bersama kami
menyantap hidangan hangat itu. Tidak ada sendok, garpu, hanya daun yang dilipat
membentuk cengkok. Gelas juga cuma dari bambu. Bambu dan kayu memang merupakan
bahan baku utama hampir seluruh perkakas yang mereka gunakan.
Cerita-cerita yang diungkapkan Jaya merupakan
pelepas lelah bagi kami. Jaya, satu-satunya warga Cibeo yang dapat berbahasa
Indonesia, menjawab semua keingintahuan kami. Sunda Wiwitan, begitulah mereka
menyebut agama mereka. Dan dengan mengikuti penanggalan mereka sendiri, mereka
berpuasa selama kurang lebih tiga bulan setiap tahunnya, mulai saat subuh belum
lagi sempat menyapa, hingga saat matahari sudah meringkuk di sudut bumi, setiap
harinya. Jika masa panen selesai, tokoh-tokoh masyarakat Badui dalam
menyambangi tampat arca Domas suci, di hulu Sungai Ciujung.
Di sana, mereka melaporkan apa-apa yang telah
terjadi dalam setahun itu dan memohon berkah untuk tahun mendatang. Kerja dan
kerja. Itulah yang selalu mereka lakukan. Itulah ibadah yang selalu mereka
sucikan. Itulah yang mereka sebut ‘bertapa’. Sebab dengan terus ‘bertapa’,
dengan kata lain terus bekerja, mereka tidak lagi punya waktu untuk menyimak
iri, dengki, tamak, malas, atau perasaan dan perbuatan jahat lainnya.
Sebuah perjalanan tidak bisa dilakukan semau hati
karena tidak ada kendaraan yang boleh digunakan. Jaya pun hanya mengandalkan
kekuatan kakinya selama empat hari menyusuri rel kereta api menuju Jakarta.
Juga, tidak setiap warga boleh meninggalkan daerah Badui Dalam ini. Bahkan
kepala suku mempunyai kewajiban untuk tinggal saja di kampungnya. Malam telah
larut. Di tengah damainya perkampungan suku Cibeo ini, kami tertidur. Dan
ketika subuh belum lagi pantas disebut, Jaya telah pergi ke huma bersama warga
kampung lain. Berladang tanpa cangkul, bajak, apalagi traktor. Begitu
sederhananya, sesederhana pakaian mereka yang hanya celana komprang plus baju
kampret, serta ikat kepala putih, yang membedakan mereka dari orang-orang Badui
Luar. Sementara ibu-ibu bertelanjang dada keluar menyapu halaman rumah mereka
sambil menyusui anak.
Matahari meninggi. Kami pamit menuju Cikertawana dan
Cikeusik, dua daerah perkampungan Badui Dalam lain. Kembali kami melangkah kaki
di jalan setapak yang membelah bukit-bukit dan menyusuri sungai-sungai yang
menawan.
Di Cikeusik kami hanya mendapatkan seorang penduduk
yang kemudian menjamu kami dengan pisang besar yang dibakar begitu saja di bara
api. Gula aren khas Badui menjadi campuran susu yang kami buat, ditambah sajian
buah asam kranji, sangat menghibur hati kami yang kecewa karena sepinya
kampung, ditinggal warganya pergi ke huma.
Tak lama kami di sana karena waktu sudah
mengharuskan kami beranjak pulang. Dua hari berada di tengah orang-orang Badui,
cukup membuat kami mengerti rasa hormat yang tumbuh di dalam hati Judistira
Garna, karena kami pun merasakan hal yang sama. Di balik sikap sederhana dan
sorot mata yang lugu dan polos, ada ‘sesuatu’ yang membuat mereka sanggup
begitu kuat menggenggam tradisi mereka, ‘sesuatu’ yang membuat jiwa terasa
begitu damai di tengah-tengah mereka. Laranganlarangan yang tidak pernah
dilanggar, dan tidak adanya keinginan untuk berontak, merupakan hal yang terasa
sulit dibayangkan. Namun dengan kesederhanaan mereka, orang-orang Badui
membuktikan sebuah kekuatan yang mampu mengekang emosi, dan ini merupakan salah
satu sifat arif dan bijak.
Badui adalah suku yang jauh di pelosok hutan, namun
rasanya banyak yang dapat dipelajari manusia-manusia modern tentang arti sebuah
pribadi yang tegar dan kokoh. Hanya sebuah pikukuh (ketentuan mutlak) sederhana,
yang telah tertanam dalam di nadi orang-orang Badui, yang membuat mereka begitu
mengagumkan:
Gunung jangan dilebur.
Lembah jangan dirusak.
Larangan jangan diubah.
(Ditulis oleh Nuria Widyasari)
Contoh artikel (2) berisi info kesehatan:
TERTAWA LANCARKAN PEREDARAN DARAH
Ilmuwan dari University of Maryland Center.
Baltimore. Amerika Serikat (AS) berhasil menunjukkan keterikatakan antara tawa
dan kesehatan. Berdasarkan penelitan yang dilakukannya, tawa terlihat dapat melancarkan
peredaran darah. “Tiga puluh menit berolahraga sebanyak tiga kali dalam
seminggu serta 15 menit tertawa lepas semestinya dijadikan bagian dari gaya
hidup sehat,” ujar Michael Miller dari universitas tersebut.
Tertawa, lanjut Miller, dapat membuat pembuluh darah
arteri menjadi tidak tegang. Sementara itu, aliran darah pun dibuatnya lebih
lancar. “Kondisi ini terlihat dari percobaan yang melibatkan 20 orang relawan,”
ungkapnya. Kedua puluh relawan d.elaskan Miller diajak menonton film komedi
King Pin. Dengan memakai ultrasonik, Miller mengukur aliran darah dan pembuluh
darah arteri di lengan para relawan, baik sebelum maupun sesudah menonton film
tersebut. Hasil pengindraan membuktikan pembuluh darah arteri 19 orang relawan
menjadi rileks dan aliran darahnya lebih lancar dari biasanya. Itu terjadi
selama 30 hingga 45 menit setelah film usai ditonton.
Sementara itu, kondisi sebaliknya terjadi saat
relawan yang sama diajak menonton adegan menegangkan dari film perang Saving
Private Ryan. Dinding arteri para relawan menjadi tegang hingga menghalangi
aliran darah. Secara keseluruhan, aliran darah turun 35 persen setelah
menyaksikan adegan menegangkan dan meningkat 22 persen selama adegan yang memancing
tawa. Dari penelitian itu, Miller menyimpulkan tertawa dapat menyehatkan
kondisi dinding pembuluh darah arteri. Tertawa diyakini bisa mengurangi risiko
terkena penyakit jantung. “Setidaknya, tertawa jelas dapat memangkas dampak
stres mental yang berbahaya bagi dinding pembuluh darah,” imbuhnya.
Hasil penelitian ini menurut Andrew Steptoe dari
University College London, Inggris, sangat logis. Dia mengatakan emosi yang
positif tentu akan menimbulkan efek yang juga positif. “Sekarang ini penelitian
ilmiah yang mengungkapkan keterikatan antara emosi positif dan kesehatan sedang
mengalami peningkatan.“ Miller awal pekan ini (7/3) mempresentasikan hasil
penelitiannya di ajang pertemuan American College of Cardologi yang berlangsung
di Orlando, Florida. Ia berharap dapat mengungkapkan lebih jauh bagaimana tawa
dapat bermanfaat. “Kami tidak tahu manfaat langsung dari tertawa. Demikian pula
dengan dampak tidak langsung dari pengurangan stres, “ ungkapnya. (Republika, 9
Maret 2005)