Pasal 51.
(1) Orang
yang melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan
oleh penguasa yang berwenang, tidak boleh dipidana.
(2) Perintah jabatan tanpa wewenang
tidak menyebabkan hapusnya pidana, kecuali jika yang diperintah mengira dengan
itikad baik bahwa perintah diberikan dengan wewenang dan pelaksanaannya
termasuk dalam lingkungan pekerjaannya. (KUHP 114, 190, 198, 462.)
Pasal 52.
Bila
seorang pejabat, karena melakukan tindak pidana, melanggar suatu kewajiban
khusus dari jabatannya, atau pada waktu melakukan tindak pidana memakai
kekuasaan, kesempatan atau sarana yang diberikan kepadanya karena .jabatannya,
maka pidananya dapat ditambah sepertiga. (KUHP 12, 18, 30, 36, 92.)
Pasal 52a.
(s. d. t. dg. UU No. 73 / 1958.) Bila pada waktu melakukan
kejahatan digunakan Bendera Kebangsaan Republik Indonesia, pidana untuk kejahatan
tersebut dapat ditambah dengan sepertiga.
Anotasi:
Supaya konsisten dengan yang lain,
bunyi pasal ini telah diubah tanpa mengubah artinya.
BAB IV. PERCOBAAN.
Pasal 53.
(1) Percobaan
untuk melakukan kejahatan dipidana, bila niat untuk itu telah temyata dari
adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak-selesainya pelaksanaan itu bukan
semata-mata disebabkan oleh kemauannya sendiri. (KUHP 154 5, 3024, 3515.)
(2) Maksimum
pidana pokok terhadap kejahatan dikurangi sepertiganya dalam hal percobaan.
(3) Bila
kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka
dijatuhkan pidana penjara paling lama lima
belas tahun.
(4) Pidana
tambahan bagi percobaan sama dengan
pidana tambahan bagi kejahatan yang telah diselesaikan. (KUHP 54, 86 dst.,
1845, 3024 , 3515, 3522.)
Pasal 54.
Percobaan
untuk melakukan pelanggaran tidak dipidana. (KUHP 60; Inv.Sw. 46.)
BAB V. PENYERTAAN DALAM TINDAK
PIDANA.
Pasal 55.
(1) (s.
d. u. dg. S. 1925-197jo. 273.) Dipidana
sebagai pelaku tindak pidana:
1o. mereka
yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan tindak
pidana itu;
2o. mereka yang dengan memberi atau
menjanjikan sesuatu, dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan
kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau
keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan tindak pidana itu.
(KUHP 163 bis, 236 dst.)
(2) Terhadap penganjur, hanya tindak
pidana yang sengaja dianjurkan saja yang diperhitungkan, beserta
akibat-akibatnya . (KUHP 51, 514 , 58.)
203, 217, 293, 313, 380.)
Pasal 56.
Dipidana
sebagai orang yang membantu melakukan kejahatan: (KUHP 58, 86.)
1o. mereka
yang dengan sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan itu dilakukan;
2o. mereka
yang dengan sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan
kejahatan itu. (KUHP 57 dst., 60 dst., 86, 236 dst.)
Pasal 57.
(1) Dalam
hal pembantuan melakukan kejahatan, maksimum pidana pokok terhadap kejahatan
dikurangi sepertiganya. (KUHP 434.)
(2) Bila
kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka
dijatuhkan pidana penjara paling lama lima
belas tahun.
(3) Pidana
tambahan bagi pembantuan sama dengan pidana tambahan bagi kejahatannya sendiri.
(4) Dalam
menentukan pidana bagi si pembantu perbuatan kejahatan, yang diperhitungkan
hanya perbuatan yang sengaja dipermudah atau diperlancar olehnya, beserta
akibat-akibatnya. (KUHP 552, 58.)
Pasal 58.
Dalam
menggunakan aturan-aturan pidana, keadaan-keadaan pribadi seseorang, yang
menghapuskan, mengurangi atau memberatkan pengenaan pidana, hanya diperhitungkan
terhadap pelaku atau pembantu yang bersangkutan itu sendiri. (KUHP 552, 57 4.)
Pasal 59.
Dalam
hal-hal di mana ditentukan pidana karena pelanggaran terhadap pengurus,
anggota-anggota badan pengurus atau komisaris-komisaris, maka pengurus, anggota
badan pengurus atau komisaris yang temyata tidak ikut campur melakukan
pelanggaran, tidak dipidana. (KUHP 398 dst.)
Pasal 60.
Pembantu
dalam melakukan pelanggaran tidak dipidana. (KUHP 54.)
Pasal 61.
(1) Mengenai
kejahatan yang dilakukan dengan percetakan, penerbitnya selaku demikian tidak
dituntut bila dalam barang cetakan disebut nama dan tempat tinggalnya,
sedangkan pembuatnya sudah dikenal atau diberitahukan oleh penerbit pada waktu
pertama kali ditegur setelah penuntutan dimulai agar memberitahukan nama si
pembuat.
(2) Aturan
ini tidak berlaku bila pelaku pada saat barang cetakan terbit tidak dapat
dituntut atau sudah menetap di luar Indonesia. (ISR. 164; KUHP 56, 62,
78, 483 dst.)
Pasal 62.
(1) Mengenai
kejahatan yang dilakukan dengan percetakan, pencetaknya selaku demikian tidak
dituntut bila pada barang cetakan disebut nama dan tempat tinggalnya, sedangkan
orang yang menyuruh mencetak sudah dikenal atau diberitahukan oleh pencetak
pada waktu pertama kali ditegur setelah penuntutan dimulai agar memberitahukan
nama orang itu.
(2) Aturan
ini tidak berlaku bila orang yang menyuruh mencetak pada saat barang cetakan
terbit, tidak dapat dituntut atau sudah menetap di luar Indonesia.
(ISR. 66, 164; KUHP 56, 61, 78, 484 dst.)
BAB VI. GABUNGAN TINDAK PIDANA.
Pasal 63.
(1) Bila
suatu tindak pidana masuk dalam lebih dari satu aturan pidana, maka yang
dikenakan hanya salah satu di antara aturan-aturan itu; bila pidananya
berbeda-beda, maka yang dikenakan adalah yang memuat ancaman pidana pokok yang
paling berat. (KUHP 69.)
(2) Bila
suatu perbuatan, yang masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula
dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang diterapkan.
Anotasi;
Dg.
UU No. 11/Pnps/1963 tentang pemberantasan kegiatan subversi, ayat (2)
tersebut dinyatakan tidak berlaku bagi tindak pidana subversi.
Pasal 64.
(1) Bila
antara beberapa perbuatan, meskipun masing-masing merupakan kejahatan atau
pelanggaran, ada hubungannya sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai
satu perbuatan berlanjut, maka hanya diterapkan satu aturan pidana; bila
berbeda-beda, maka yang diterapkan adalah yang memuat ancaman pidana pokok yang
paling berat. (KUHP 64.)
(2) (s.d.u.
dg. S. 1926-359jo. 429.) Begitu juga
hanya dikenakan satu aturan pidana saja, bila orang dinyatakan bersalah
melakukan pemalsuan atau perusakan mata uang, dan menggunakan barang yang
dipalsukan atau yang dirusak itu. (KUHP 244 dst., 253 dst., 263 dst,)
(3) (s.
d. t. dg. S. 1931-240; s.d. u. dg. UU No. 18 / PrP / 1960.) Akan tetapi, bila
orang yang melakukan kejahatan-kejahatan tersebut dalam pasal 364, 373, 379,
dan 407 ayat (1), sebagai perbuatan berlanjut dan jumlah nilai kerugian yang
ditimbulkan lebih dari tiga ratus tujuh puluh lima rupiah, maka ia dikenakan
aturan pidana tersebut dalam pasal 362, 372, 378, dan 406.
Pasal 65.
(1) Dalam
hal gabungan beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai perbuatan yang
berdiri sendiri-sendiri sehingga merupakan beberapa kejahatan, yang diancam
dengan pidana pokok yang sejenis, maka dijatuhkan hanya satu pidana.
(2) Maksimum
pidana yang dijatuhkan ialah jumlah maksimum pidana-pidana yang diancamkan
terhadap perbuatan itu, akan tetapi tidak boleh lebih dari maksimum pidana yang
terberat ditambah sepertiganya. (KUHP 12, 18, 30, 66 dst., 68, 70; Sv. 167.)
Pasal 66.
(1) Dalam
hal gabungan beberapa perbuatan yang masing-masing harus dipandang sebagai
perbuatan yang berdiri sendiri sehingga merupakan beberapa kejahatan, yang
diancam dengan pidana pokok yang tidak sejenis, maka dijatuhkan pidana atas
tiap-tiap kejahatan, tetapi jumlahnya tidak boleh lebih dari maksimum pidana
yang terberat ditambah sepertiga.
(2) Dalam
hal ini pidana denda dihitung menurut lamanya maksimum pidana kurungan
pengganti yang ditentukan untuk perbuatan itu. (KUHP 30, 65, 67-70; Sv. 167.)
Pasal 67.
Orang
yang dijatuhi pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, tidak boleh
dijatuhi pidana lain lagi kecuali pencabutan hak-hak tertentu, perampasan
barang-barang yang telah disita sebelumnya, dan pengumuman putusan hakim.(KUHP
121, 35 dst., 43.)
Pasal 68.
(1) Berdasarkan
hal-hal tersebut dalam pasal 65 dan 66, tentang pidana tambahan berlaku aturan
sebagai berikut:
1o. pidana-pidana pencabutan hak
yang sama dijadikan satu, yang lamanya paling sedikit dua tahun dan paling lama
lima tahun
lebih dari pidana pokok atau pidana-pidana pokok yang dijatuhkan. Bila pidana pokok hanya pidana denda saja,
maka lamanya pencabutan hak paling sedikit dua tahun dan paling lama lima tahun; (KUHP 38.)
2o. pidana-pidana pencabutan hak
yang berlain-lainan dijatuhkan sendiri-sendiri bagi tiap-tiap kejahatan tanpa
dikurangi;
3o. pidana-pidana perampasan
barang-barang tertentu, demikian juga halnya dengan pidana kurungan pengganti
karena barang-barang tidak diserahkan, dijatuhkan sendiri-sendiri bagi
tiap-tiap kejahatan tanpa dikurangi. (Sv. 167.)
(2) Jumlah
pidana kurungan pengganti tidak boleh lebih dari delapan bulan. (KUHP 30, 41.)
Pasal 69.
(1) Perbandingan
berat pidana pokok yang tidak sejenis ditentukan menurut urut-urutan dalam
pasal 10.
(2) Bila
hakim memilih antara beberapa pidana pokok, maka dalam perbandingan hanya yang
terberat yang dipakai.
(3) Perbandingan
berat pidana-pidana pokok yang sejenis ditentukan menurut maksimumnya
masing-masing.
(4) Perbandingan
lamanya pidana-pidana pokok yang sejenis, demikian juga yang tidak sejenis,
ditentukan menurut maksimumnya masing-masing.
Pasal 70.
(1) Bila
ada gabungan seperti tersebut dalam pasal 65 dan 66, baik gabungan pelanggaran
dengan kejahatan, maupun pelanggaran dengan pelanggaran, maka untuk tiap-tiap
pelanggaran dijatuhkan pidana sendiri-sendiri tanpa dikurangi.
(2) (s.d.u.
dg. S. 1931-290.) Untuk pelanggaran,
jumlah lamanya pidana kurungan dan pidana kurungan pengganti paling banyak satu
tahun empat bulan, sedangkan jumlah lamanya pidana kurungan pengganti paling
banyak delapan bulan. (KUHP 30, 41, 68-2'.)
Pasal 70 bis
(s.d.t. dg. S. 1931-240; s.d.u. dg. S. 1934-644.) Dalam menerapkan pasal 65, 66,
dan 70, kejahatan-kejahatan berdasarkan pasal 302 ayat (1), 352, 364, 373, 379,
dan 482 dianggap sebagai pelanggaran, dengan pengertian, bila dijatuhkan
pidana-pidana penjara atas kejahatan-kejahatan itu, jumlahnya paling banyak
delapan bulan.
Pasal 71.
Bila
seseorang setelah dijatuhi pidana, kemudian dinyatakan bersalah lagi karena
melakukan kejahatan atau pelanggaran lain sebelum ada putusan pidana itu, maka
pidana yang dahulu diperhitungkan pada pidana yang akan dijatuhkan dengan
menggunakan aturan-aturan dalam bab ini, kalau perkara-perkara itu diadili
serentak.
BAB VII. MENGAJUKAN DAN MENARIK KEMBALI PENGADUAN
DALAM HAL
KEJAHATAN-KEJAHATAN YANG HANYA
DITUNTUT ATAS PENGADUAN.
(KUHP 284, 287, 293, 313, 319-323, 332, 335, 367, 369 dst.
, 376, 394, 404, 411, 485; Sv. 10 dst,; Aut. 31-34.)
Pasal 72.
(1) Selama orang yang terkena
kejahatan, yang hanya boleh dituntut atas pengaduan, belum berumur enam belas
tahun dan juga belum dewasa, atau selama ia berada di bawah pengampuan yang
disebabkan oleh hal lain daripada keborosan, maka yang berhak mengadu ialah
wakilnya yang sah dalam perkara perdata. (KUHPerd. 299 dst., 383, 433, 452;
KUHP 2843)
(2) Bila tidak ada wakilnya,
atau wakil itu sendiri yang harus diadukan, maka penuntutan dilakukan atas
pengaduan wali pengawas atau pengampu pengawas, atau majelis yang menjadi wali
pengawas atau pengampu pengawas; juga mungkin atas pengaduan istrinya atau
seorang keluarga sedarah dalam garis lurus, atau bila itu tidak ada, atas
pengaduan seorang keluarga sedarah dalam garis menyimpang sampai derajat ketiga.
(KUHPerd. 310, 370, 452; KUHP 220, 2843; Sv. 8.)
Pasal 73.
Bila yang terkena
kejahatan meninggal dalam tenggang waktu yang ditentukan dalam pasal berikut,
maka tanpa memperpanjang tenggang waktu itu, penuntutan dilakukan atas
pengaduan orang tuanya, anaknya, atau suaminya (istrinya) yang masih hidup,
kecuali kalau temyata bahwa yang meninggal tidak menghendaki penuntutan. (KUHP
2843, 320 dst.)
Pasal 74.
(1) Pengaduan boleh diajukan
hanya dalam waktu enam bulan sejak orang yang berhak mengadu mengetahui adanya
kejahatan, bila bertempat tinggal di Indonesia, atau dalam waktu sembilan bulan
bila bertempat tinggal di luar Indonesia. (Rv. 12; KUHP 97; Sv. 8, 10.)
(2) Bila yang terkena kejahatan
berhak mengadu pada saat tenggang waktu tersebut dalam ayat (1) belum habis,
maka setelah saat itu, pengaduan masih boleh diajukan hanya selama sisa yang
masih kurang pada tenggang waktu tersebut. (KUHP 293 3.)
Pasal 75.
Orang yang mengajukan
pengaduan berhak menarik kembali pengaduannya itu dalam waktu tiga bulan
setelah diajukan. (KUHP 97, 2843 .)
BAB VIII. HAPUSNYA KEWENANGAN
MENUNTUT PIDANA
DAN MENJALANKAN PIDANA.
Pasal 76.
(1) (s.
d. u. dg. S. 1931-240; UU No. 1 / 1946.)
Kecuali dalam hal putusan hakim masih boleh diubah lagi, orang tidak boleh dituntut
dua kali karena perbuatan yang oleh hakim Indonesia terhadap dirinya telah
diadili dengan putusan yang menjadi tetap.
Dalam pengertian hakim Indonesia,
termasuk juga hakim pengadilan swapraja dan adat, di tempat-tempat yang
mempunyai pengadilan-pengadilan tersebut. (KUHP 283; Sv. 356 dst.; S. 1938-529,
S. 1932-80.)
(2) Bila
putusan yang menjadi tetap itu berasal dari hakim lain, maka tidak boleh
diadakan penuntutan terhadap orang itu dan karena tindak pidana itu pula, dalam hal :
1o. Putusan berupa pembebasan
dari tuduhan atau pelepasan dari tuntutan hukum;
2o. Putusan berupa pemidanaan
dan pidananya itu telah dijalani seluruhnya atau telah diberi ampun atau
kewenangan untuk menjalankannya telah hapus karena daluwarsa. (Sv. 389.)
Pasal 77.
Kewenangan menuntut pidana
hapus, bila si tertuduh meninggal dunia. (KUHP 83, 103; Sv. 391 dst.; IR. 367
dst.; RBg. 681 dst.)
Pasal 78.
(1) Kewenangan
menuntut pidana hapus karena daluwarsa :
1o. terhadap
semua pelanggaran dan kejahatan yang dilakukan dengan percetakan, sesudah satu
tahun;
2o. terhadap
kejahatan yang diancam dengan pidana denda, pidana kurungan, atau pidana
penjara paling lama tiga tahun, sesudah enam tahun;
3o. terhadap
kejahatan yang diancam dengan pidana penjara lebih dari tiga tahun, sesudah dua
belas tahun;
4o. terhadap
kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup,
sesudah delapan belas tahun.
(2) Bagi
orang yang pada saat melakukan perbuatan belum berumur delapan belas tahun,
masing-masing tenggang daluwarsa di atas dikurangi menjadi sepertiga. (KUHPerd. 1946; KUHP 80, 84; Sv. 407; IR.
371; RBg. 691.)
Pasal 79.
Tenggang
daluwarsa mulai berlaku pada hari sesudah perbuatan dilakukan, kecuali dalam
hal-hal berikut:
1o. (s.d.u.
dg. S. 1926-359 jo. 429.) terhadap
pemalsuan atau perusakan mata uang, tenggang daluwarsa itu mulai berlaku pada
hari sesudah barang yang dipalsukan atau mata uang yang dirusak digunakan;
(KUHP 244 dst., 253 dst., 263 dst.)
2o. terhadap
kejahatan dalam pasal 328, 329, 330, dan 333, tenggang daluwarsa itu dimulai
pada hari sesudah orang yang langsung terkena oleh kejahatan dibebaskan atau
meninggal dunia;
3o. (s.d.u.
dg. S. 1921-560 dan S. 1928 - 376.)
terhadap pelanggaran dalam pasal 556 sampai dengaii pasal 558a, tenggang
daluwarsa itu dimulai pada hari sesudah daftar-daftar yang memuat
pelanggaran-pelanggaran itu dipindah ke kantor panitera suatu pengadilan,
menurut aturan-aturan umum yang menentukan bahwa register-register catatan
sipil harus dipindah ke kantor tersebut. (KUHPerd. 82; BS. 28 dst.)
Pasal 80.
(1) Setiap
tindakan penuntutan menghentikan daluwarsa, asal tindakan itu diketahui oleh
orang yang dituntut, atau telah diberitahukan kepadanya menurut cara yang
ditentukan dalam aturan-aturan umum.
(2) Sesudah
dihentikan, dimulai lagi tenggang daluwarsa yang baru.
Pasal 81.
Penundaan
penuntutan pidana karena adanya perselisihan pra-yudisial, menunda daluwarsa.
(KUHP 284 5 , 3143, 332 4; Sv. 409.)
Pasal 82.
(1) Kewenangan
menuntut pelanggaran yang diancam hanya dengan pidana denda menjadi hapus,
kalau maksimum denda dibayar dengan sukarela, demikian pula biaya-biaya yang
telah, dikeluarkan bila penuntutan telah dimulai, atas kuasa pejabat yang
ditunjuk untuk itu oleh aturan-aturan umum, dan dalam waktu yang ditetapkan olehnya.
(2) Bila
di samping pidana denda ditentukan perampasan, maka barang yang dikenai
perampasan itu harus diserahkan pula, atau harganya harus dibayar menurut
taksiran pejabat tersebut dalam ayat (1). (KUHP 41.)
(3) Dalam
hal pidana diperberat karena pengulangan, pemberatan itu tetap berlaku
sekalipun kewenangan menuntut pidana terhadap pelanggaran yang dilakukan lebih
dulu telah hapus berdasarkan ayat (1) dan (2) pasal ini.
(4) Ketentuan-ketentuan
dalam pasal ini tidak berlaku bagi orang yang belum dewasa, yang pada saat
melakukan perbuatan berumur di bawah enam belas tahun. (Sv. 410.)
Pasal 83.
Kewenangan menjalankan pidana hapus
bila si terpidana meninggal dunia. (KUHP 77, 103; Sv. 399; IR. 368; RBg. 689.)
Pasal 84.
(1) Kewenangan
menjalankan pidana hapus oleh karena daluwarsa.
(2) Lama
tenggang daluwarsa mengenai semua pelanggaran adalah dua tahun, mengenai
kejahatan yang dilakukan dengan sarana percetakan adalah lima tahun, dan mengenai kejahatan-kejahatan
yang lain sama dengan tenggang daluwarsa bagi penuntutan pidana ditambah
sepertiga. (KUHP 78.)
(3) Bagaimanapun
juga, lama tenggang daluwarsa tidak boleh kurang dari lama pidana yang
dijatuhkan.
(4) Kewenangan
menjalankan pidana mati tidak terkena daluwarsa.
Pasal 85.
(1) Tenggang
daluwarsa mulai berlaku pada keesokan harinya setelah putusan hakim dapat
dijalankan.
(2) Bila
seorang terpidana melarikan diri selama menjalani pidana, maka pada keesokan
harinya setelah melarikan diri itu mulai berlaku tenggang daluwarsa baru. Bila suatu pelepasan bersyarat dicabut, maka
pada keesokan harinya setelah pencabutan mulai berlaku tenggang daluwarsa baru.
(KUHP 15, 34; Sv.227.)
(3) Tenggang
daluwarsa tertuduh selama penjalanan pidana ditunda menurut perintah dalam
suatu peraturan umum, dan juga selama kemerdekaan terpidana dirampas, meskipun
perampasan kemerdekaan itu berhubung dengan pemidanaan lain. (Sv. 336 dst., 356
dst., 396 dst.)
BAB IX. ARTI BEBERAPA ISTILAH
YANG DIPAKAI DALAM KITAB
UNDANG-UNDANG.
Pasal 86.
Bila
disebut kejahatan, baik dalam arti kejahatan pada umumnya maupun dalam arti
suatu kejahatan tertentu, maka di situ termasuk pembantuan dan percobaan
melakukan kejahatan, kecuali bila dinyatakan sebaliknya oleh suatu aturan.
(KUHP 53, 56.)
Pasal 87.
(s.d.u.
dg. S. 1930-31.) Dikatakan ada makar
untuk melakukan suatu perbuatan, bila niat untuk itu telah temyata dari adanya
permulaan pelaksanaan seperti tersebut dalam pasal 53. (KUHP 53, 104-108, 130,
140.)
Pasal 88.
Dikatakan
ada permufakatan jahat, bila dua orang atau lebih telah sepakat untuk melakukan
kejahatan. (KUHP 110, 111 bis, 116, 125, 164, 169 dst., 184 dst., 214, 324
dst., 363,:365, 368 dst., 438 dst., 450 dst., 457 dst., 462, 504 dst.)
Pasal 88 bis
(s.d.t. dg. S. 1930-31.) Yang dimaksud dengan
penggulingan pemerintah ialah peniadaan atau pengubahan secara tidak sah bentuk
pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar. (KUHP 107 dst., 111 bis.)
Pasal 89.
Membuat
orang jadi pingsan atau tidak berdaya disamakan dengan menggunakan kekerasan.
(KUHP 55, 146 dst., 170, 173, 175, 211 dst., 285, 289, 293, 300, 330, 332, 335,
365, 368, 438 dst., 444, 459 dst.)
Pasal 90.
Luka
berat berarti: (KUHP 184, 213 dst., 291 dst., 306, 333 dst., 351 dst., 358,
360, 365, 459 dst.)
- jatuh
sakit atau mendapat luka yang tidak dapat diharapkan akan sembuh secara
sempuma, atau yang menimbulkan bahaya maut;
- untuk
selamanya tidak mampu menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan yang merupakan
mata pencaharian;
- kehilangan
salah satu pancaindera;
- mendapat
cacat berat;
- menderita
sakit lumpuh;
- terganggunya
daya pikir selama lebih dari empat minggu;
- gugumya
atau terbunuhnya kandungan seorang perempuan.
Pasal 91.
(1) Dalam
kekuasaan bapak termasuk pula kekuasaan kepala keluarga.
(2) Yang
dimaksud dengan orang tua termasuk pula kepala keluarga.
(3) Yang
dimaksud dengan bapak termasuk pula orang yang menjalankan kekuasaan yang sama
dengan bapak.
(4) Yang
dimaksud dengan anak termasuk pula orang yang berada di bawah kekuasaan yang
sama dengan kekuasaan bapak.
Pasal 92.
(1) (s.d.
u. dg. S. 1931-240; UU No. 1 / 1946.)
Yang dimaksud dengan pejabat termasuk pula orang-orang yang dipilih dalam
pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan -aturan umum, demikian juga
orang-orang yang bukan karena pemilihan, menjadi anggota badan pembentuk
undang-undang, badan pemerintahan, atau badan perwakilan rakyat, yang dibentuk
oleh Pemerintah atau atas nama pemerintah; demikian juga semua anggota dewan
subak, dan semua kepala rakyat Indonesia asli dan kepala golongan Timur Asing,
yang menjalankan kekuasaan yang sah.
(2) Yang
dimaksud dengan pejabat dan hakim termasuk juga hakim wasit; yang dimaksud
dengan hakim termasuk juga orang-orang yang menjalankan peradilan
administratif, serta ketua-ketua dan anggota-anggota pengadilan agama.
(3) Semua anggota Angkatan
Bersenjata juga dianggap sebagai pejabat. (KUHP 7, 52, 168, 209-217, 228, 294,
316, 3562, 413 dst., 552 dst.)
Pasal 92 bis
(s.d.t. dg. S. 1938-276.) Yang
dimaksud dengan pengusaha ialah tiap tiap orang yang menjalankan perusahaan.
(KUHD 6.)
Pasal 93.
(1) Yang dimaksud dengan
nakhoda ialah orang yang memegang kekuasaan di atas kapal atau yang
mewakilinya.
(2) Yang dimaksud dengan
Penumpang ialah semua orang yang berada di atas kapal, kecuali nakhoda.
(3) Yang dimaksud dengan anak
buah kapal ialah semua perwira atau kelasi yang berada di atas kapal. (KUHD
341, 341d; KUHP 8, 325 dst., 438, 444 dst., 560 dst.)
Pasal 94.
Dicabut
dg. UU No. 1 / 1946.
Pasal 95
(s.d.u. dg. S. 1935-492, 565.) Yang dimaksud dengan kapal
Indonesia ialah kapal yang
mempunyai surat laut atau pas kapal, atau surat izin sebagai pengganti sementara menurut
aturan-aturan umum mengenai surat laut dan pas
kapal di Indonesia.
(Bdk. dg. Staatsblad yang diberitahukan
dalam KUHP pasal 8.)
Pasal 95a.
(s.d.t.
dg. UU No. 4 / 1976.)
(1) Yang
dimaksud dengan "Pesawat udara Indonesia" adalah pesawat
udara yang didaftarkan di Indonesia.
(2) Termasuk
pula pesawat udara Indonesia
adalah pesawat udara asing yang disewa tanpa awak pesawat dan dioperasikan oleh
Perusahaan penerbangan Indonesia.
Pasal 95b.
(s.d.
t. dg. UU No. 4 / 1976.) Yang dimaksud
dengan "dalam penerbangan" adalah sejak saat semua pintu luar pesawat
udara ditutup setelah naiknya penumpang (embarkasi) sampai saat pintu dibuka
untuk penurunan penumpang (disembarkasi).
Dalam hal terjadi pendaratan darurat
penerbangan dianggap terus berlangsung sampai saat penguasa yang berwenang
mengambil alih tanggungiawab atas pesawat udara dan barang yang ada di
dalamnya.
Pasal 95c.
(s.d.t.
dg. UU No. 4 / 1976.) Yang dimaksud
dengan "dalam dinas" adalah jangka waktu sejak pesawat udara
disiapkan oleh awak darat atau oleh awak pesawat untuk penerbangan tertentu,
hingga setelah 24 jam lewat sesudah setiap pendaratan.
Pasal 96.
(1) (s.d.u.
dg. S. 1934-172, 337.) Yang dimaksud
dengan musuh termasuk juga pemberontak.
Demikian juga, di situ termasuk negara atau kckuasaan yang akan menjadi
lawan perang. (KUHP 124, 126.)
(2) Yang
dimaksud dengan perang termasuk juga permusuhan dengan daerah daerah swapraja,
demikian juga perang saudara. (KUHP 121, 123, 129, 363, 438.)
(3) Yang
dimaksud dengan masa perang termasuk juga waktu selama perang sedang
mengancam. Demikian juga dikatakan masih
ada masa perang, segera sesudah diperintahkan mobilisasi Angkatan Bersenjata
dan selama mobilisasi itu berlaku. (KUHP 122 dst., 126 dst., 29, 236 dst., 363,
387 dst.)
Pasal 97.
Yang
dimaksud dengan hari ialah waktu selama dua puluh empat jam; yang dimaksud
dengan bulan adalah waktu selama tiga puluh hari. (KUHP 12, 18, 27, 30.)
Pasal 98.
Yang
dimaksud dengan waktu malam ialah waktu antara matahari terbenam dan matahari
terbit. (KUHP 167 dst., 363, 365.)
Pasal 99.
Yang
dimaksud dengan memanjat termasuk juga masuk melalui lubang yang memang sudah
ada tetapi bukan untuk jalan masuk, atau masuk melalui lubang di dalam tanah
yang dengan sengaja digali; demikian juga menyeberangi selokan atau parit yang
digunakan sebagai batas penutup. (KUHP 167 dst., 235, 363, 365.)
Pasal 100.
Yang
dimaksud dengan anak kunci palsu termasuk juga segala perkakas yang bukan
peruntukkan untuk membuka kunci. (KUHP 167 dst., 235, 363, 365.)