(S. 1915-732 jis. S. 1917-497, 645, mb. 1 Januari 1918, s.d.u.t.
dg.
UU No. 1 / 1946).
Anotasi:
Sebutan "Kitab Undang-undang
Hukum Pidana" ini diberlakukan, diubah dan ditambah dg. UU No. 1/1946 (Berita Republik Indonesia II,
9). Undang-undang ini mengadakan
perubahan/tambahan terhadap W.v.S. Ned. Ind., yaitu Hukum Pidana
8 Maret 1942; jadi bukan terhadap Hukum Pidana zaman Jepang, dan bukan pula
terhadap W. v. S Ned. Ind. yang sudah diubah dan ditambah oleh
pemerintah Belanda sesudah 1945 (S. 1945-135, S. 1946-76, S. 1947-180, S.
1948-169, S. 1949-1 dan 258). Kemudian
diubah dan ditambah lagi, berturut turut dengan Undang-undang No. 20 / 1946, 8
/ 1951, 8 / Drt /1955, 73/1958, 1/1960, 16/Prp/1960, 18/Prp/1960, 1/Pnps/1965,
7/1974, dan 4/1976.
BUKU PERTAMA
ATURAN UMUM
BAB 1
BATAS-BATAS BERLAKUNYA ATURAN PIDANA DALAM
PERUNDANG-UNDANGAN.
Pasal. 1.
(1) Suatu
perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan
perundang-undangan pidana yang telah ada sebelumnya. (AB. 1 dst., 15.)
(2) Jika ada perubahan dalam
perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa
diterapkan ketentuan yang paling menguntungkan baginya.
Pasal 2.
Ketentuan
pidana dalam perundang-undangan Indonesia
berlaku bagi setiap orang yang melakukan suatu tindak pidana di Indonesia.
(AB. 4, 5, 25; KUHP 7 dst.; Sv. 12.)
Pasal 3.
(s.d.u.
dg. UU No. 411976.) Ketentuan pidana
dalam perundang-undangan Indonesia
berlaku bagi setiap orang yang di luar wilayah Indonesia
melakukan tindak pidana di dalam kendaraan air atau pesawat udara Indonesia.
(AB. 25; KUHP 8 dst., 95.)
Pasal 4.
(s.d.u.
dg. S. 1926-359, 429, S. 1930-31, S.
1931 -240, S. 1938-593.) Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang di luar
wilayah Indonesia
melakukan:
1o . (s. d. u. dg. UU No. 1/1 946.) salah satu kejahatan
berdasarkan pasal 104, 106, 107, 108, 110, 111 bis-1 o, 127, dan 131;
2 o. suatu kejahatan tentang mata
uang atau uang kertas yang dikeluarkan oleh negara atau bank, ataupun tentang
meterai yang dikeluarkan dan merek yang digunakan oleh Pemerintah Indonesia;
(KUHP 244 dst., 253 dst.)
3 o. pemalsuan surat utang atau
sertifikat utang atas tanggungan Indonesia, suatu daerah atau bagian daerah
Indonesia, termasuk pula pemalsuan talon, tanda dividen atau tanda bunga, yang
mengikuti surat atau sertifikat itu, dan tanda yang dikeluarkan sebagai
pengganti surat tersebut; atau menggunakan surat-surat tersebut di atas, yang
palsu atau dipalsukan, seolah-olah asli dan tidak palsu; (KUHP 264 dst., 272
dst.)
4 o. (s. d. u. dg. UU No. 4 / 1976.) salah satu kejahatan yang
tersebut dalam pasal 438, 444 sampai dengan 446 tentang pembajakan laut dan
pasal 447 tentang penyerahan kendaraan air kepada kekuasaan bajak laut dan
pasal 479 huruf j tentang penguasaan pesawat udara secara melawan hukum, pasal
479 huruf l, m, n, dan o tentang
kejahatan yang mengancam keselamatan penerbangan sipil. (RO. 129; KUHP 9; Sv.
13 dst.)
Pasal 5.
(1) (s.d.u.
dg. S. 1930-31, S. 1931-240.) Ketentuan
pidana dalam perundang-undangan Indonesia
diterapkan bagi warganegara yang di luar Indonesia melakukan: (AB. 4.)
1o. salah
satu kejahatan yang tersebut dalam Bab I dan II Buku Kedua dan pasal 160, 161,
240, 279, 450, dan 451;
2 o. salah
satu perbuatan yang oleh suatu ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia
dipandang sebagai kejahatan, sedangkan menurut perundang-undangan negara tempat
perbuatan dilakukan diancam dengan pidana. (KUHP 6, 76 2.)
(2) Penuntutan
perkara seperti termaksud dalam nomor 2o dapat dilakukan juga bila tertuduh
menjadi warganegara sesudah melakukan perbuatan. (Ned.ond. 1 dst.; AB. 4; KUHP
9; Sv. 13.)
Pasal 6.
Berlakunya
pasal 5 ayat (1) nomor 2’ dibatasi sedemikian rupa, sehingga tidak dijatuhkan
pidana mati, bila menurut perundang-undangan negara tempat perbuatan dilakukan,
terhadapnya tidak diancamkan pidana mati.
Pasal 7.
Ketentuan
pidana dalam perundang-undangan Indonesia
berlaku bagi setiap pejabat yang di luar Indonesia melakukan salah satu
tindak pidana seperti termaksud dalam Bab XXVIII Buku Kedua. (KUHP 2 dst., 9, 92; Sv. 13.)
Pasal 8.
(s.d.u.
dg. S. 1928-230, S. 1935-492, 565.) Ketentuan pidana dalam perundang-undangan
Indonesia berlaku bagi nakhoda dan penumpang perahu Indonesia, yang di luar
Indonesia, sekalipun di luar perahu, melakukan salah satu tindak pidana seperti
termaksud dalam Bab XXIX Buku Kedua, dan Bab IX Buku Ketiga; demikian pula yang
tersebut dalam peraturan mengenai surat laut dan pas kapal di Indonesia, maupun
dalam Ordonansi Perkapalan. (KUHD 309, 311 dst., 341, 341d; KUHP 2 dst., 9, 93,
95; Sv. 13; S. 1934 – 78 jis. S.
1935-89, 565, S. 1937-629, 630, S.
1935-492 jis. S. 1935-565, S. 1937-591,
S. 1938-1, 2.)
Pasal 9.
Berlakunya
pasal 2- 5, 7, dan 8 dibatasi oleh pengecualian-pengecualian yang diakui dalam
hukum internasional. (AB. 15.)
BAB II.
PIDANA.
Pasal 10.
Pidana
terdiri atas: (KUHP 69.)
a. pidana
pokok:
1o. pidana
mati; (KUHP 6, 11, 67.)
2o. pidana
penjara; (KUHP 12-17, 24 dst., 27 dst., 32 dst., 38, 42, 67; Inv. Sw. 2 dst.)
3o pidana
kurungan; (KUHP 18-33, 38, 41 dst.; Inv.
Sw. 2 dst.)
4o. pidana
denda; (KUHP 30-33, 38, 42.)
5o. (s.d.
t. dg. UU No. 2011946.) pidana tutupan;
b. pidana
tambahan:
1o. pencabutan
hak-hak tertentu; (KUHP 35 dst., 38, 47 3.)
2o. perampasan
barang-barang tertentu; (ISR. 145; KUHP 39-42.)
3o pengumuman
putusan hakim. (KUHP 43, 473.)
Pasal 11.
Pidana mati dijalankan oleh algojo
di tempat gantungan dengan menjeratkan tali pada leher terpidana, dan
mengikatkan tali itu pada tiang gantungan, kemudian menjatuhkan papan tempat
terpidana berdiri. (Sv. 339; IR. 329; RBg. 630.)
Pasal 12.
(1) Pidana penjara lamanya
seumur hidup atau selama waktu tertentu.
(2) Pidana penjara selama waktu
tertentu sekurang-kurangnya satu hari dan paling lama lima belas tahun
berturut-turut.
(3) Pidana penjara selama waktu
tertentu boleh dijatuhkan untuk dua puluh tahun berturut-turut dalam hal
kejahatan yang pidananya boleh dipilih hakim antara pidana mati, pidana penjara
seumur hidup, dan pidana penjara selama waktu tertentu, atau antara pidana
penjara seumur hidup dan pidana penjara selama waktu tertentu; demikian juga
dalam hal batas lima belas tahun dilampaui sebab tambahan pidana karena
gabungan (concursus), pengulangan (residive) atau karena yang ditentukan pasal
52. (KUHP 57, 104, 106, 1072, 1082, 1112, 1242, 1302, 1402, 187-3’, 1942 196
–3’,198 – 2’, 200 –3’, 2022 , 2042 , 339 dst., 486 dst.)
(4) Pidana penjara selama waktu
tertentu sekali-kali tidak boleh lebih dari duapuluh tahun.
Pasal
13.
Para terpidana yang
dijatuhi pidana penjara dibagi-bagi atas beberapa kelas. (KUHP 29.)
Pasal
14.
Terpidana yang dijatuhi
pidana penjara wajib melakukan segala pekerjaan yang diperintahkan kepadanya
berdasarkan ketentuan pelaksanaan pasal 29. Dg.
S. 1926-251 jo. 486, ditambahkan pasal 14a-f, mb. tgl. 1 Januari 1927.
Pasal 14a.
(1) Bila
hakim menjatuhkan pidana penjara paling lama satu tahun atau pidana kurungan,
tidak terrnasuk pidana kurungan pengganti denda, maka dalam putusannya hakim
dapat memerintahkan pula bahwa pidana tidak usah dijalani, kecuali bila di
kemudian hari ada putusan hakim yang menentukan lain karena terpidana melakukan
suatu tindak pidana sebelum masa percobaan yang ditentukan dalam perintah
tersebut di atas habis, atau karena terpidana selama masa percobaan tidak
memenuhi syarat khusus yang mungkin ditentukan dalam perintah itu.
(2) Hakim
juga mempunyai kewenangan seperti di atas, kecuali dalam perkara perkara
mengenai penghasilan dan persewaan negara, bila menjatuhkan pidana denda,
tetapi hanya bila ternyata kepadanya bahwa pidana denda atau perampasan yang
mungkin diperintahkan pula akan sangat memberatkan bagi terpidana. Dalam menerapkan ayat ini, kejahatan dan
pelanggaran candu hanya dianggap sebagai perkara mengenai penghasilan negara,
bila terhadap kejahatan dan pelanggaran itu ditentukan bahwa dalam hal dijatuhi
pidana denda, tidak diterapkan ketentuan pasal 30 ayat (2).
(3) Perintah
tentang pidana pokok juga mengenai pidana tambahan, bila hakim tidak menentukan
lain.
(4) Perintah
itu tidak diberikan, kecuali bila hakim berkeyakinan setelah menyelidiki dengan
cermat bahwa dapat dilakukan pengawasan yang cukup untuk dipenuhinya syarat
umum, bahwa terpidana tidak akan melakukan tindak pidana, dan untuk dipenuhinya
syarat-syarat khusus bila sekiranya ditetapkan.
(5) Perintah
tersebut dalam ayat (1) harus disertai hal-hal atau keadaan keadaan yang
menjadi alasan perintah itu.
Pasal 14b.
(1) Masa
percobaan bagi kejahatan dan pelanggaran yang tersebut dalam pasal 492, 504,
505, 506, dan 536 paling lama tiga tahun dan bagi pelanggaran yang lain paling
lama dua tahun.
(2) Masa
percobaan mulai pada saat putusan telah menjadi tetap dan sudah diberitahukan
kepada terpidana menurut cara yang ditentukan dalam undang undang.
(3) Masa
percobaan tidak dihitung selama terpidana ditahan dengan sah.
Pasal 14C.
(1) Dengan
perintah yang dimaksud dalam pasal 14a, kecuali bila dijatuhkan pidana denda,
hakim, selain menetapkan syarat umum bahwa terpidana tidak akan melakukan
tindak pidana, dapat menetapkan syarat khusus bahwa terpidana dalam waktu
tertentu, yang lebih pendek daripada masa percobaannya, harus mengganti segala
atau sebagian kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana tadi.
(2) Bila
hakim menjatuhkan pidana penjara lebih dari tiga bulan atau pidana kurungan
atas salah satu pelanggaran berdasarkan pasal 492, 504, 505, 506, dan 536, maka
boleh ditetapkan syarat-syarat khusus yang lain mengenai tingkah laku terpidana
yang harus dipenuhi selama masa percobaan atau selama sebagian dari masa
percobaan.
(3) Syarat-syarat
tersebut di atas tidak boleh mengurangi kemerdekaan beragama atau kemerdekaan
berpolitik bagi terpidana.
Pasal 14d.
(1) Yang
diserahi mengawasi agar syarat-syarat itu dipenuhi ialah pejabat yang berwenang
menyuruh menjalankan putusan, bila kemudian ada perintah untuk menjalankan
putusan.
(2) Bila
ada alasan, hakim dalam perintahnya dapat mewajibkan lembaga yang berbentuk
badan hukum dan berkedudukan di Indonesia, atau pemimpin suatu rumah
penampungan yang berkedudukan di situ, atau pejabat tertentu, agar memberi
pertolongan dan bantuan kepada terpidana dalam memenuhi syarat-syarat khusus.
(3) Aturan-aturan
lebih lanjut mengenai pengawasan dan bantuan tersebut diatas serta mengenai
penunjukan lembaga dan pemimpin rumah penampungan yang dapat diserahi memberi
bantuan itu ditetapkan dengan undang-undang. (S. 1926-487.)
Pasal 14e.
Atas usul pejabat dalam pasal 14d
ayat (1), atau atas permintaan terpidana, hakim yang memutus perkara dalam
tingkat pertama, selama masa percobaan, dapat mengubah syarat-syarat khusus
atau lama berlakunya syarat syarat khusus dalam masa percobaan. Hakim juga boleh memerintahkan orang lain
daripada orang yang diperintahkan semula, agar memberi bantuan kepada
terpidana, dan juga boleh memperpanjang masa percobaan satu kali, paling banyak
dengan separuh dari waktu yang paling lama dapat ditetapkan untuk masa
percobaan.
Pasal 14f.
(1) Tanpa
mengurangi ketentuan pasal di atas, maka atas usul pejabat tersebut dalam pasal
14d ayat (1), hakim yang memutus perkara dalam tingkat pertama dapat
memerintahkan agar pidananya dijalankan, atau memerintahkan agar atas namanya
diberi peringatan kepada terpidana, yaitu bila terpidana selama masa percobaan
melakukan tindak pidana dan karenanya ada pemidanaan yang menjadi tetap, atau
bila salah satu syarat yang lain tidak dipenuhi, ataupun bila terpidana sebetum
masa percobaan habis dijatuhi pemidanaan yang menjadi tetap, karena melakukan
tindak pidana sebelum masa percobaan mulai berlaku. Sewaktu memberi peringatan, hakim harus
menentukan juga bagaimana cara memberi peringatan itu.
(2) Perintah
agar pidana dijalankan tidak dapat diberikan lagi sesudah masa percobaan habis,
kecuali bila sebelum masa percobaan habis terpidana dituntut karena melakukan
tindak pidana dalam masa percobaan dan penuntutan itu kemudian berakhir dengan
pemidanaan yang menjadi tetap. Dalam hal
itu, dalam waktu dua bulan setelah pemidanaan menjadi tetap, hakim masih boleh
memerintahkan supaya pidananya dijalankan, karena melakukan tindak pidana tadi.
Pasal 15.
(s. d. u. dg. S. 1926-251 jo. 486.)
(1) Bila
terpidana telah menjalani dua pertiga dari lamanya pidana penjara yang
dijatuhkan kepadanya, yang sekurang kurangnya harus sembilan bulan, maka
kepadanya dapat diberikan pelepasan bersyarat.
Bila terpidana harus menjalani beberapa pidana berturut-turut, pidana
itu dianggap sebagai satu pidana.
(2) Sewaktu
memberikan pelepasan bersyarat, ditentukan pula suatu masa percobaan, serta
ditetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi selama masa percobaan.
(3) (s.d.
u. dg. S. 1939-77.) Lama masa percobaan
itu sama dengan sisa waktu pidana penjara yang belum dijalani, ditambah satu
tahun. Bila terpidana ada dalam tahanan
yang sah, maka waktu itu tidak termasuk masa percobaan. (KUHP 15a4, 15b, 17; S.
1917-749.)
Pasal 15a.
(s. d. t. dg. S. 1926-251 jo. 486.)
(1) Pelepasan
bersyarat harus disertai dengan syarat umum bahwa terpidana tidak akan
melakukan tindak pidana dan perbuatan lain yang tidak baik.
(2) Selain
itu, juga boleh ditambahkan syarat-syarat khusus mengenai kelakuan terpidana,
asalkan syarat-syarat khusus itu tidak mengurangi kemerdekaan beragama dan
kemerdekaan berpolitik bagi terpidana.
(3) Pengawasan
atas pemenuhan segala syarat itu diserahkan kepada pejabat tersebut dalam pasal
14d ayat (1).
(4) Juga
dapat diadakan pengawasan khusus atas pemenuhan syarat-syarat itu, yang
semata-mata harus bertujuan untuk memberi bantuan kepada terpidana.
(5) (s.d.u.
dg. S. 1939-77.) Selama masa percobaan,
syarat-syarat itu dapat diubah, atau dicabut, atau dapat juga diadakan
syarat-syarat khusus baru; juga dapat diadakan pengawasan khusus. Pengawasan
khusus itu dapat diserahkan kepada orang lain daripada orang yang semula
diserahi. (KUHP 16 2; S. 1917-749 pasal 12 jo.
S. 1939-77 pasal II.)
(6) Orang yang dilepaskan
dengan bersyarat itu diberi surat pas yang memuat syarat-syarat yang harus
dipenuhinya. Bila hal-hal yang tersebut
dalam ayat di atas dijalankan, maka orang itu diberi surat pas baru. (KUHP 17;
S. 1917-749.)
Pasal
15b.
(s.d.t. dg. S. 1926-251, 486; s.d.u.
dg. S. 1939-77; UU No. 1 / 1946.)
(1) Pelepasan bersyarat dapat
dicabut, bila orang yang diberi pelepasan bersyarat selama masa percobaan
melakukan hal-hal yang melanggar syarat-syarat tersebut dalam surat
pasnya. Bila ada sangkaan keras bahwa
hal-hal di atas dilakukan, Menteri Kehakiman dapat menghentikan pelepasan
bersyarat tersebut untuk sementara waktu. (KUHP 16 2,3.)
(2) Waktu selama terpidana
dilepaskan bersyarat sampai menjalani pidana lagi, tidak terhitung dalam waktu
pidananya.
(3) Pelepasan bersyarat tidak
dapat dicabut kembali bila sudah lewat tiga bulan sejak berakhirnya masa
percobaan, kecuali bila sebelum waktu tiga bulan lewat terpidana dituntut
karena melakukan tindak pidana dalam masa percobaan, dan tuntutan berakhir
dengan putusan pidana yang menjadi tetap.
Pelepasan bersyarat masih dapat dicabut dalam waktu tiga bulan setelah
putusan menjadi tetap berdasarkan pertimbangan bahwa terpidana melakukan tindak
pidana selama masa percobaan.
Pasal 16.
(s. d. u. dg. S. 1939- 77; UU No. 1/1 946.)
(1) Ketentuan
pelepasan bersyarat ditetapkan oleh Menteri Kehakiman atas usul atau setelah
mendapat kabar dari pengurus penjara tempat terpidana, dan setelah mendapat
keterangan dari jaksa tempat asal terpidana.
Ketentuan itu tidak boleh ditetapkan sebelum ditanya pendapat Dewan
Reklasering Pusat, yang tugasnya diatur oleh Menteri Kehakiman.
(2) Ketentuan
mencabut pelepasan bersyarat, demikian juga hal-hal yang tersebut dalam pasal
15a ayat (5), ditetapkan oleh Menteri Kehakiman atas usul atau setelah mendapat
kabar dari jaksa tempat asal terpidana.
Ketentuan itu tidak boleh ditetapkan sebelum ditanya pendapat Dewan
Reklasering Pusat.
(3) Selama
pelepasan bersyarat masih dapat dicabut, maka atas perintah jaksa di tempat
tinggalnya, orang yang dilepaskan dengan bersyarat dapat ditahan guna menjaga
ketertiban umum, bila ada sangkaan yang beralasan bahwa orang itu selama masa
percobaan telah berbuat hal-hal yang melanggar syarat-syarat tersebut dalam surat pasnya. Jaksa harus segera memberitahukan penahanan
itu kepada Menteri Kehakiman.
(4) Waktu
penahanan paling lama enam puluh hari.
Bila penahanan disusul dengan penghentian untuk sementara atau
pencabutan pelepasan bersyarat, maka orang itu dianggap meneruskan menjalani
pidananya mulai pada hari ia ditahan. (KUHP 15, 17; S. 1917-749.)
Pasal 17.
(s.d. u. dg. S. 1926-251 jo. 486.) Contoh surat pas dan peraturan
pelaksanaan pasal 15, 15a, dan 16 diatur dengan undang-undang. (S. 1917-749.)
Pasal 18.
(1) Pidana
kurungan paling sedikit satu hari dan paling lama satu tahun. (KUHP 97.)
(2) Bila
ada pemberatan pidana karena gabungan atau pengulangan atau karena ketentuan
pasal 52, maka pidana kurungan dapat ditambah menjadi satu tahun empat bulan.
(KUHP 65, 488.)
(3) Pidana
kurungan sama sekali tidak boleh lebih lama dari satu tahun empat bulan.
Pasal 19.
(1) Orang
yang dijatuhi pidana kurungan wajib menjalankan pekerjaan yang diperintahkan
kepadanya, sesuai dengan aturan-aturan pelaksanaan pasal 29.
(2) Orang
yang dijatuhi pidana kurungan diserahi pekerjaan yang lebih ringan daripada
orang yang duatuhi pidana penjara.
Pasal 20.
(1) (s.d.
u. dg. S. 1.925-28; UU No. 1 / 1946.)
Hakim yang menjatuhkan pidana penjara atau pidana kurungan paling lama satu
bulan; boleh menetapkan bahwa jaksa dapat memberi izin kepada terpidana untuk
bergerak dengan bebas di luar penjara sehabis waktu kerja.
(2) Bila
terpidana yang mendapat kebebasan itu tidak datang pada waktu dan tempat yang
telah ditentukan untuk menjalani pekerjaan yang dibebankan kepadanya, maka
selanjutnya ia harus menjalani pidananya seperti biasa, kecuali kalau
ketidakdatangannya itu bukan karena kehendak sendiri.
(3) Ketentuan
dalam ayat (1) tidak diterapkan kepada terpidana bila pada waktu melakukan
tindak pidana belum ada dua tahun sejak ia habis menjalani pidana penjara atau
pidana kurungan.
Pasal 21.
(s. d. u. dg. S. 1920-812; UU No. 1 / 1946.) Pidana
kurungan harus dijalani di daerah di mana terpidana berdiam ketika putusan
hakim dijalankan, atau bila tidak mempunyai tempat kediaman, di daerah di mana
ia berada, kecuali bila Menteri Kehakiman atas permintaan terpidana membolehkan
dia menjalani pidananya di daerah lain.
Pasal 22.
(1) Terpidana
yang sedang menjalani pidana hilang kemerdekaan di suatu tempat yang digunakan
untuk menjalani pidana penjara atau pidana kurungan, atau kedua-duanya, segera
setelah pidana hilang kemerdekaan itu selesai, kalau diminta, boleh menjalani
pidana kurungan di tempat itu juga.
(2) Pidana
kurungan, yang karena sebab di atas dijalani di tempat yang khusus untuk
menjalani pidana penjara, tidak berubah sifatnya oleh karena itu. (KUHP 28, 41
5.)
Pasal 23.
Orang
yang dijatuhi pidana kurungan boleh memperbaiki nasibnya dengan biaya sendiri,
menurut aturan-aturan yang akan ditetapkan dengan undang undang. (KUHP 29; S.
1917-708, Gestichtenr. pasal 93 dst.)
Pasal 24.
Orang
yang dijatuhi pidana penjara atau pidana kurungan boleh diwajibkan bekerja,
baik di dalam maupun di luar tembok penjara orang-orang terpidana. (KUHP 14,
19, 29; Gestichtenr. 36 ter, 57 dst.)
Pasal 25.
Yang
tidak boleh diserahi pekerjaan di luar tembok penjara tersebut ialah:
1o orang-orang
yang dijatuhi pidana penjara seumur hidup;
2o. para
wanita;
3o. orang-orang
yang menurut pemeriksaan dokter tidak boleh melaksanakan pekerjaan demikian.
(KUHP 24; Gestichtenr. 57 4.)
Pasal 26.
Bila
mengingat keadaan diri atau status sosial terpidana, hakim menimbang ada
alasan, maka dalam putusan ditentukan bahwa terpidana tidak boleh diwajibkan
bekerja di luar tembok penjara orang-orang terpidana. (KUHP 24 dst.;
Gestichtenr. 36 4.)
Pasal 27.
Lamanya
pidana penjara selama waktu tertentu dan pidana kurungan dalam putusan hakim
dinyatakan dengan hari, minggu, bulan, dan tahun; tidak boleh dengan
pecahannya. (KUHP 97.)
Pasal 28.
Pidana
penjara dan pidana kurungan dapat dilaksanakan di tempat yang sama, asal di
bagian-bagian terpisah. (Gestichtenr. 36.)
Pasal 29.
(1) Hal
menunjuk tempat untuk menjalani pidana penjara, pidana kurungan, atau
kedua-duanya, demikian juga hal mengatur dan mengurus tempat tempat itu, hal
membagi-bagi para terpidana dalam beberapa kelas, hal mengatur pekerjaan, upah
kerja, dan hal perumahan para terpidana yang berdiam di luar penjara, hal mengatur
pemberian pengajaran, penyelenggaraan ibadat, hal tata tertib, hal tempat untuk
tidur, hal makanan dan pakaian, semuanya itu diatur dengan undang-undang sesuai
dengan kitab undang-undang ini.
(2) (s.
d. u. dg. UU No. 1 / 1 946.) Bila perlu,
Menteri Kehakiman menetapkan anggaran rumah tangga untuk tempat-tempat orang
terpidana. (Sv. 14, 19; S. 1917-708.)
Pasal 30.
(1) (s.d.u.
dg. UU No. 18/Prp/1960.) Pidana denda
paling sedikit tiga rupiah tujuh puluh lima
sen.
(2) (s.
d. u. dg. S. 1926-251 jo. 486.) Bila
pidana denda tidak dibayar, maka diganti dengan pidana kurungan. (KUHP 41, 97;
Sv. 3382 ; Ldg. 53 8.)
(3) (s.
d. u. dg. S. 1926-251 jo. 486.) Lama
pidana kurungan pengganti paling sedikit satu hari dan paling tinggi enam
bulan. (Sv. 97.)
(4) (s.d.u.
dg. UU No. 18 / Prp / I960.) Dalam
putusan hakim, lamanya pidana kurungan
pengganti ditetapkan sebagai berikut; bila pidana dendanya tujuh rupiah lima
puluh sen atau kurang, dihitung satu hari; bila lebih dari tujuh rupiah lima
puluh sen, tiap-tiap tujuh rupiah lima puluh sen dihitung paling banyak satu
hari, demikian pula sisanya yang tidak cukup tujuh rupiah lima puluh sen. (KUHP
97; Inv. Sw. 4'.)
(5) (s.
d. u. dg. S. 1926-251 jo. 486.) Bila ada
pemberatan pidana denda yang disebabkan oleh gabungan atau pengulangan, atau
karena ketentuan pasal 52, maka pidana kurungan pengganti paling lama delapan
bulan.
(6) Pidana
kurungan pengganti sama sekali tidak boleh lebih dari delapan bulan. (KUHP 682
, 702.)
Pasal 31.
(1) Terpidana
dapat segera menjalani pidana kurungan pengganti tanpa menunggu batas waktu
pembayaran denda. (KUHP 302.)
(2) Ia
setiap waktu berhak membebaskan dirinya dari pidana kurungan pengganti dengan
membayar dendanya.
(3) (s.
d. u. dg. S. 1926-251 jo. 486.)
Pembayaran sebagian dari pidana denda, sebelum atau sesudah mulai menjalani
pidana kurungan pengganti, membebaskan terpidana dari sebagian pidana kurungan
yang seimbang dengan bagian yang dibayarnya. (KUHP 30, 33, 41'; Inv. Sw. 4'.)
Pasal 32.
(1) Pidana
penjara dan pidana kurungan mulai berlaku bagi terpidana yang sudah di dalam
tahanan sementara pada hari ketika putusan hakim menjadi tetap, dan bagi
terpidana yang lain pada hari ketika putusan hakim mulai dijalankan. (Sv. 332
dst., 335 dst., 338.)
(2) Bila
dalam putusan hakim dijatuhkan pidana penjara dan pidana kurungan atas beberapa
tindak pidana, dan kemudian putusan itu bagi kedua pidana tadi menjadi tetap
pada waktu yang sama, sedangkan terpidana sudah ada dalam tahanan sementara
karena kedua atau salah satu tindak pidana itu, maka pidana penjara mulai
berlaku pada saat ketika putusan hakim menjadi tetap, dan pidana kurungan mulai
berlaku setelah pidana penjara habis.
Pasal 33.
(1) Hakim
dalam putusannya boleh menentukan bahwa waktu selama terpidana menjalani
tahanan sementara sebelum putusan menjadi tetap, seluruhnya atau sebagian
dipotong dari pidana penjara selama waktu tertentu, dari pidana kurungan, atau
dari pidana denda yang dbatuhkan kepadanya; dalam hal pidana denda, dipakai
ukuran menurut pasal 31 ayat (3).
(2) (s.d.t.
dg. S. 1934-558, 587.) Waktu selama
seorang terdakwa ada dalam tahanan sementara yang tidak berdasarkan surat perintah, tidak
dipotong dari pidananya, kecuali bila pemotongan itu dinyatakan khusus dalam
putusan hakin.
(3) (s.d. u. dg.
S. 1934-558jis. 587 dan S. 1938-278.) Ketentuan pasal ini berlaku juga
dalam hal terdakwa dituntut sekaligus karena melakukan beberapa tindak pidana,
kemudian dipidana karena perbuatan lain daripada yang didakwakan kepadanya
waktu ditahan sementara.
Pasal 33a.
(s.d.t. dg. S. 1933-1; s.d.u. dg. S. 1934-172, 337; UU No. 1/1946.) Bila orang
yang ditahan sementara dijatuhi pidana penjara atau pidana kurungan, dan
kemudian dia sendiri atau orang lain dengan persetujuannya mengajukan
permohonan ampun, maka waktu sejak hari permohonan mulai diajukan hingga ada
putusan Presiden, tidak dihitung sebagai waktu menjalani pidana, kecuali bila
Presiden, dengan mengingat keadaan perkaranya, menentukan bahwa waktu itu
seluruhnya atau sebagian dihitung sebagai waktu menjalani pidana. (S. 1933-2.)
Pasal 34.
Bila
terpidana melarikan diri selama menjalani pidana, maka waktu selama di luar
tempat menjalani pidana tidak dihitung sebagai waktu menjalani pidana. (KUHP
852.)
Pasal 35.
(1) Hak-hak
terpidana yang dapat dicabut dengan putusan hakim dalam hal-hal yang ditentukan
dalam kitab undang-undang ini, atau dalam aturan umum yang lain, ialah:
1o. hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan yang tertentu;
2o hak memasuki Angkatan Bersenjata;
(KUHP 92'.)
3o. hak memilih dan dipilih dalam
pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum;
4o. hak menjadi penasihat hukum atau
pengurus atas penetapan pengadilan, hak menjadi wali, wali pengawas, pengampu atau pengampu
pengawas, atas orang yang bukan anak sendiri; (KUHPerd. 355, 359, 433, 452.)
5o. hak
menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwalian atau pengampuan atas anak
sendiri; (KUHP 37, 91; KUHPerd. 298 dst., 307 dst., 319a dst., 345, 359, 379
dst., 433, 452; S. 1927-31 pasal 1.)
6o. hak menjalankan mata pencaharian
tertentu. (KUHP 227; KUHPerd. 3.)
(2) Hakim
tidak berwenang memecat seorang pejabat dari jabatannya, bila dalam
aturan-aturan khusus telah ditentukan bahwa penguasa lain yang berwenang untuk
pemecatan itu. (ISR.117, 150 dst.; RO. 20, 20b; KUHP 36, 92, 227.)
Pasal 36.
Hak memegang jabatan pada umumnya
atau jabatan tertentu, dan hak memasuki Angkatan Bersenjata, kecuali dalam hal
yang dijelaskan dalam Buku Kedua, dapat dicabut dalam hal pemidanaan karena
kejahatan yang dilakukan dalam jabatan atau karena kejahatan yang dilakukan
terpidana dengan melanggar kewajiban khusus suatu jabatan, atau karena ia
memakai kekuasaan, kesempatan atau sarana yang diberikan kepadanya karena
jabatannya. (KUHP 52, 92, 413 dst.)
Pasal 37.
(1) Kekuasaan
bapak, kekuasaan wali, wali pengawas, pengampu, dan pengampu pengawas, baik
atas anak sendiri maupun atas anak orang lain, dapat dicabut dalam hal
pemidanaan:
1o. orang tua atau wali yang dengan
sengaja melakukan kejahatan bersama-sama dengan anak yang belum dewasa yang
berada di bawah kekuasaannya;
2o. orang tua atau wali yang
terhadap anak yang belum dewasa yang berada di bawah kekuasaannya, melakukan
kejahatan yang tersebut dalam Bab XIII, XIV, XV, XVIII, XIX, dan XX Buku Kedua.
(KUHP 91.)
(2) (s.d.t.
dg. S. 1927-456 jo. 421, S. 1931-420.)
Pencabutan kekuasaan tersebut dalam ayat (1) tidak boleh dilakukan oleh hakim
pidana terhadap orang- orang yang baginya diberlakukan undang-undang hukum
perdata tentang pencabutan kekuasaan orang tua, kekuasaan wali dan kekuasaan
pengampu. (KUHPerd. 319a, 380, 452 2.)
Pasal 38.
(1) Bila
dilakukan pencabutan hak, hakim menentukan lamanya pencabutan sebagai berikut:
1o. dalam
hal pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, lamanya pencabutan hak adalah
seumur hidup;
2o. dalam
hal pidana penjara selama waktu tertentu atau pidana kurungan, lamanya
pencabutan hak paling sedikit dua tahun dan paling banyak lima tahun lebih lama dari pidana pokoknya;
3o. dalam
hal pidana denda, lamanya pencabutan hak paling sedikit dua tahun dan paling
tinggi lima
tahun.
(2) Pencabutan
hak mulai berlaku pada hari ketika putusan hakim dapat dijalankan. (KUHP 32;
Sv. 332 dst.)
Pasal 39.
(1) Barang-barang
kepunyaan terpidana yang diperoleh dengan kejahatan atau yang dengan sengaja
digunakan untuk melakukan kejahatan, dapat dirampas.
(2) Dalam
hal pemidanaan karena kejahatan yang dilakukan dengan tidak sengaja atau karena
pelanggaran, dapat juga dijatuhkan putusan perampasan berdasarkan hal-hal yang
ditentukan dalam undang-undang.
(3) Perampasan
dapat dilakukan terhadap orang yang bersalah yang oleh hakim diserahkan kepada
pemerintah, tetapi hanya atas barang-barang yang telah disita. (ISR. 145; KUHP 40, 45 dst.)
Pasal 40.
Bila
seorang berumur di bawah enam belas tahun mempunyai, membawa masuk atau
mengangkut barang-barang dengan melanggar aturan-aturan tentang penghasilan dan
persewaan negara, aturan-aturan tentang pengawasan pelayaran di bagian-bagian
Indonesia yang tertentu, atau aturan-aturan tentang larangan memasukkan,
mengeluarkan, dan meneruskan pengangkutan barang-barang, maka hakim dapat
menjatuhkan pidana perampasan atas barang-barang itu, juga bila yang bersalah itu dikembalikan
kepada orang tuanya, walinya atau pemeliharanya tanpa pidana apa pun.
Pasal 41.
(s. d. u. dg. S. 1926-251 jo. 486.)
(1) Perampasan
atas barang-barang yang tidak disita sebelumnya, diganti menjadi pidana
kurungan, bila barang-barang itu tidak diserahkan, atau bila harganya menurut
taksiran dalam putusan hakim tidak dibayar. (KUHP 30 2; Sv. 3382; Ldg. 538.)
(2) Lama
pidana kurungan pengganti ini paling sedikit satu hari dan paling tinggi enam
bulan.
(3) (s.d.u.
dg. UU NO. 18 / Prp / l960.) Dalam
putusan hakim lama pidana kurungan pengganti ini ditentukan sebagai berikut:
tujuh rupiah lima puluh sen atai; kurang
dihitung satu hari; bila lebih dari tujuh rupiah lima
puluh sen, tiap-tiap tujuh rupiah lima puluh sen
dihitung paling banyak satu hari, demikian pula sisanya yang tidak cukup tujuh
rupiah lima
puluh sen.
(4) Pasal
31 juga berlaku bagi pidana kurungan pengganti ini.
(5) Pidana
kurungan pengganti ini juga dihapus, bila barang-barang yang dirampas itu
diserahkan. (ISR. 145; Sv. 347.)
Pasal 42.
Segala
biaya untuk menjalankan pidana penjara dan pidana kurungan dipikul oleh negara,
dan semua pendapatan dari pidana denda dan perampasan menjadi milik negara.
(KUHP 43.)
Pasal 43.
Bila
hakim memerintahkan supaya putusan diumumkan berdasarkan kitab undang-undang
ini atau aturan-aturan umum yang lain, maka ia harus menetapkan pula bagaimana
cara melaksanakan perintah itu atas biaya terpidana. (KUHP 67, 128, 206, 361,
377, 395, 405; Sv. 338.)
BAB III. HAL-HAL YANG MENGHAPUSKAN,
MENGURANGI ATAU MEMBERATKAN PIDANA.
Pasal 44.
(1) Orang
yang melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungkan kepadanya karena
jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana.
(2) Bila
temyala perbuatan itu tidak dapat dipertanggungkan kepadanya karena pertumbuhan
jiwanya cacat atau terganggu karena penyakit, maka hakim dapat memerintahkan
supaya orang itu dimasukkan ke rumah sakit jiwa, paling lama satu tahun sebagai
masa percobaan. (Krankz. 16, 27.)
(3)
(s. d. u. dg. UU No. 1 / 1946.) Ketentuan dalam ayat (2)
berlaku hanya bagi Mahkamah Agung, Pengadilan tinggi, dan Pengadilan Negeri.
Pasal 45.
Dalam
hal penuntutan pidana terhadap orang yang belum dewasa yang berumur di bawah
enam belas tahun karena melakukan suatu perbuatan, hakim dapat menentukan:
memerintahkan supaya yang bersalah
itu dikembalikan kepada orang tuanya, watinya atau pemeliharanya, tanpa
dikenakan suatu pidana apa pun;
atau memerintahkan supaya yang
bersalah itu diserahkan kepada pemerintah tanpa pidana apa pun, bila perbuatan
tersebut merupakan kejahatan atau salah satu pelanggaran berdasarkan pasal 489,
490, 492, 496, 497, 503-505, 514, 517-519, 526, 531, 532, 536, dan 540, serta
belum lewat dua tahun seiak dinyatakan bersalah karena melakukan kejahatan atau
salah satu pelanggaran tersebut di alas, dan putusannya telah menjadi tetap;
atau menjatuhkan pidana kepada yang
bersalah.
Pasal 46.
(s.d. u. dg. S. 1925-1 jo. 152.)
(1) Bila
hakim memerintahkan supaya anak yang bersalah itu diserahkan kepada pemerintah,
maka ia dimasukkan dalam lembaga pendidikan anak negara supaya menerima
pendidikan dari pemerintah atau di kemudian hari dengan cara lain, atau
diserahkan kepada seorang tertentu yang bertempat tinggal di Indonesia atau
kepada suatu badan hukum, yayasan atau lembaga amal (sosial) yang berkedudukan
di Indonesia untuk menyelenggarakan pendidikannya, atau di kemudian hari, atas
tanggungan pemerintah, dengan cara lain; dalam kedua hal di alas, paling lama
sampai orang yang bersalah itu mencapai umur delapan belas tahun.
(2) Aturan
untuk melaksanakan ayat (1) pasal ini ditetapkan dengan undang undang. (S.
1917-741.)
Pasal 47.
(1) Bila
hakim menjatuhkan pidana, maka maksimum pidana pokok terhadap tindak pidana
anak itu dikurangi sepertiga.
(2) Bila
perbuatan itu adalah kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana
penjara seumur hidup, maka anak itu dijatuhi pidana penjara paling lama lima belas tahun. (KUHP
45.)
(3) Pidana
tambahan yang tersebut dalam pasal 10 huruf b, nomor 1o dan 3o, tidak dapat
diterapkan. (Sv. 71o; IR. 62; RBg. 498o.)
Pasal 48.
Barangsiapa
melakukan tindak pidana karena pengaruh daya paksa, tidak dipidana.
Pasal 49.
(1) Tidak
dipidana, barangsiapa melakukan tindakan pembelaan terpaksa untuk diri sendiri
maupun untuk orang lain, kehormatan kesusilaan atau harta
benda sendiri maupun orang lain,
karena ada serangan atau ancaman serangan yang sangat dekat dan yang melawan
hukum pada saat itu.
(2) Pembelaan
terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh keguncangan jiwa
yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu, tidak boleh dipidana.
(KUHP 341 dst.)
Pasal 50.
Orang
yang melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang undang, tidak
boleh dipidana.