A. Paradigma PKn pada
era Reformasi
Menjelang
usianya yang ke 71, Bangsa Indonesia sudah semakin bertambah dewasa. Seiring
dengan itu, bangsa Indonesia menjadi semakin bijak, semakin transparan, terbuka
dan kebijakan-kebijakan yang disusun serta dilaksanakan semakin dapat
dipertanggung jawabkan. Sektor pendidikan sebagai salah satu aspek dalam
kehidupan nasional harus menyesuaikan diri dengan perkembangan yang terjadi.
Khususnya pendidikan kewarganegaraan sebagai salah satu mata pelajaran wajib
yang ada di persekolahan perlu menyesuaikan diri dengan kebutuhan dan tuntutan
masyarakat yang sedang dan terus berubah. Proses pembangunan karakter (nation and character building) yang
telah dicanangkan sejak awal negara Indonesia berdiri perlu direvitalisasi agar
sesuai dengan arah dan pesan konstitusi negara RI.
Di
era global seperti sekarang ini isu-isu yang berkembang dan menjadi tuntutan
masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara adalah : demokratisasi, Hak
Asasi Manusia dan Lingkungan Hidup. Ketiga hal tersebut menjadi tuntutan dan
perhatian bagi warganya, maupun dalam melakukan hubungan dengan bangsa-bangsa
lain. Terkait dengan ini Winataputra (2009 : 1) mengatakan bahwa konstitusi
negara Indonesia (UUD Negara RI tahun 1945) mengharapkan arah pembentukan
karakter bangsa ditujukan pada penciptaan masyarakat Indonesia yang menempatkan
demokrasi sebagai titik sentral di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Untuk itulah, dalam rangka melaksakan dan mengarahkan pemikiran pada
pembentukan karakter bangsa yang demokratis cukup mendesak dilakukan.
PKn
yang merupakan salah satu mata pelajaran wajib di persekolahan dan dipergunakan
sebagai wahana untuk membentuk warga negara yang berkarakter demokratis
sebagaimana diharapkan memiliki peran penting dan cukup strategis. Sebagai mata
pelajaran nilai, PKn wajib memberikan dan menambah wawasan peserta didik
tentang nilai-nilail yang benar yang berlaku dalam kehidupan masyarakat, bangsa
dan negara. PKn wajib melakukan pembinaan serta menumbuh kembangkan sikap-sikap
peserta didik ke arah yang diinginkan oleh nilai-nilai Pancasila dan UUD Negara
RI tahun 1945. Melalui PKn di persekolahan peserta didik dilatihkan melalui
pembiasaan-pembiasaan tentang perilaku dan keterampilan hidup bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Sesuai pendapat Dardji Darmodiharjo, bahwa PKn sebagai
suatu pendidikan yang dilakukan tentang kewarganegaraan, meliputi : mengajar,
mendidik dan melatih. Mengajar maksudnya menambah wawasan dan memberikan
pengetahuan yang benar tentang kewarganegaraan, mendidik, maksudnya membentuk
sikap-sikap yang sesuai dengan nilai dan norma-norma masyarakat, melatih,
maksudnya membiasakan peserta didik melakukan perilaku untuk terampil dalam
melakukan hubungan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Menurut
Winataputra, (2009 : 3) dalam kaitan membentuk peserta didik menjadi warga yang
demokratis, PKn memiliki 3 (tiga) tugas pokok , yaitu :
1.
Mengembangkan
warga negara menjadi warga negara yang cerdas (civic intelligence).
2.
Membina
warga negara supaya menjadi warga negara yang bertanggung jawab (civic responsibility)
3.
Mendorong
warga negara supaya mau dan mampu berpartisipasi (civic participation) dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara
B. Warga Negara Yang
Cerdas.
Memiliki
warga negara yang cerdas sangat dibutuhkan suatu negara. Setiap bangsa dan
negara pasti ingin mempertahankan kelangsungan hidupnya dan mencapai tujuan
serta cita-citanya. Untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya, suatu bangsa
sangat membutuhkan warga negara yang cerdas, tidak terkecuali bagi negara
Indonesia. Melalui warga negara yang cerdas tidak saja akan dapat
mempertahankan kelangsungan hidup bangsa dan negara Indonesia, tetapi melalui
warga negara yang cerdas juga akan dapat mengangkat derajat dan martabat bangsa
serta menjadikan bangsa ini memiliki nilai kompetitif yang tinggi (competitiveness) dalam melakukan
hubungan dengan bangsa-bangsa lain. Oleh karena itulah melalui pendidikan
kewarganegaraan yang diberikan di persekolahan diharapkan akan dapat melahirkan
tidak saja warga negara yang baik, tertapi juga warga negara yang cerdas.
Kecerdasan
warga negara meliputi banyak hal atau meliputi berbagai dimensi, sehingga dalam
pelaksanaannya semua kecerdasan tersebut harus dilakukan secara seimbang, tidak
hanya dalam dimensi intelektual sebagaimana selama ini seringkali dilakukan.
Melalui PKn warga negara diharapkan memiliki kecerdasan yang jamak. Adapun
kecerdasan-kecerdasan jamak dimaksud, yang harus dimiliki warga negara
Indonesia meliputi : kecerdasan intelektual (IQ), kecerdasan emosional (EQ),
kecerdasan spiritual (SQ) dan bahkan kecerdasan moral (Moral Qoution) (Nurmalina dan Saifullah: 2008 )
Sekolah
tidak boleh hanya mengembangkan kecerdasan intelektual tanpa diikuti
pengembangan kecerdasan emosi, spiritual serta moral. Lebih lanjut Nurmalina
dan Saifullah megatakan bahwa kecerdasan intelektual harus di dasari (di back-up) oleh kecerdasan emosional,
spiritual dan bahkan kecerdasan moral. Jika tidak maka akan dapat terjadi dan
“sudah seringkali terjadi” kecerdasan intelektual yang dimiliki seseorang disalah
gunakan. Penggunaan kecerdasaan intelektual tanpa dilandasi oleh kecerdasan
emosional, spiritual dan moral seringkali bertentangan dengan nilai-nilai
kemanusiaan dan norma-norma yang berlaku. Di dalam kehidupan masyarakat
seringkali terjadi kecerdasan intelektual dipresentasikan dengan berpikir
rasional yang didukung oleh nalar, namun mengabaikan nilai-nilai moral,
nilai-nilai agama dan nilai-nilai kemanusiaan. Muara dari semua itu, dapat
menggiring manusia menjadi manusia yang sombong, angkuh atau congkak.
Menganggap dirinya yang paling benar, dirinya yang paling pintar, dirinya yang
paling bisa, sementara orang lain dianggap semuanya bodoh sehingga lebih
rendah. Bahkan dengan hanya memiliki kecerdasan intelektual tanpa dilandasi
kecerdasan yang lain, manusia manganggap akal atau rasio sebagai sumber utama
dan satu-satunya sumber kebenaran.
Kecerdasan
emosional (EQ) yang dimiliki seseorang diwujudkan dalam bentuk sikap dan
perbuatan menghargai orang lain serta menghormati kepentingan orang lain. Dengan
memiliki sikap-sikap seperti itu dapat membimbing dan mengarahkan seseorang
menjadi orang yang peka, peduli dan respek kepada sesamanya. Sehingga manusia
dapat bersikap toleran, mau menghargai perbedaan-perbedaan yang ada.
Sikap-sikap yang mencerminkan kecerdasan emosional tersebut dapat menciptakan
suasana yang dapat memperkuat persatuan dan kesatuan. Kecerdasan emosional yang
dimiliki seseorang lambat laun akan dapat mencairkan pertentangan-pertentangan
potensial yang ada.
Masalah-masalah
yang ada dalam kehidupan tidak akan bisa selesai hanya dengan kesabaran atau
perasaan sabar (kecerdasan emosional). Adanya inisiatif, kreatifitas serta
nalar (kecerdasan intelektual) sangat dibutuhkan dalam menyelesaikan masalah.
Oleh karena itu pengelolaan emosi (“kecerdasan emosional”) juga membutuhkan
menggunakan kecerdasan intelektual seperti : nalar, logika maupun bakat. Jika
tidak bisa saja terjadi, sesorang hanya berdiam diri tidak melakukan apa-apa
(sebagai cermin kecerdasan emosional) ketika menghadapi suatu masalah. Oleh
karenanya, antara kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional saling
membutuhkan dan dipadukan secara seimbang. Kecerdasan emosional tanpa didukung
oleh kecerdasan intelektual menjadikan orang tidak berbuat apa-apa, sementara kecerdasas
intelektual tanpa didasari kecerdasan emosional menyebabkan seseorang menjadi
sombong, angkuh, egois. Substansi dari kecerdasan intelektual adalah nalar,
sedangkan substansi kecerdasan emosional adalah perasaan atau mood.
Hasil
penelitian menunjukan bahwa kecerdasan intelektual hanya menyumbang tidak lebih
dari 20% untuk keberhasilan seseorang dalam hidup. Hampir 80% keberhasilan
seseorang dalam hidup ditentukan oleh kecerdasan-kecerdasan lainnya, seperti :
emosional, spiritual dan sosial. Artinya bahwa seseorang tidak bisa
mengharapkan keberhasilan dalam hidupnya hanya dengan mengandalkan kecerdasan
Intelektual yang dimiliki. Terlebih dalam era sekarang ini orang sangat perlu
memiliki jaringan, sangat butuh akan kehadiran orang lain. Semakin banyak
teman, semakin banyak jaringan merupakan modal utama bagi keberhasilan
seseorang. Untuk dapat menjalin teman dan menciptakan jaringan, seseorang harus
bisa dan mampu mengelola emosi. Seseorang tidak boleh bersikap egois kalau
ingin memperoleh teman. Orang yang egois, adalah orang yang hanya mau menangnya
sendiri, orang yang mengedepankan kepentingannya sendiri, tidak mau peduli pada
kepentingan orang lain. Hanya orang yang pandai dan cerdas mengelola emosinya
atau dengan kata lain hanya orang yang memiliki kecerdasan emosional akan
disenangi orang lain, karena orang seperti itu pandai menyenangkan hati orang
lain, orang yang suka berempati pada orang lain. Dalam kehidupan berlaku hukum
resiprositas (timbal balik) sebagai hukum kodrat atau hukum alam yang menimpa
setiap individu manusia. Seseorang cenderung akan bersikap baik pada orang yang
juga bersikap baik kepadanya, orang akan cenderung bersikap jahat sebagai
balasan sikap jahat yang dilakukan orang lain kepadanya, demikian seterusnya.
Berdasarkan
hasil penelitian, orang-orang yang kurang melatih keseimbangan kecerdasan
emosionalnya akan dapat mengkibatkan hal-hal sebagai berikut, antara lain:
a.
Gampang
merasa kalut ketika terjadi peristiwa buruk yang menimpanya
b.
Kurang
dapat melakukan kerjasama (tim work),
dan mudah retak atau tidak tahan lama dalam menjalin kerjasama dengan orang
lain
c.
Kurang
dapat mengendalikan diri karena emosi yang mudah meledak-ledak, sehingga
gampang kalap
d.
Mudah
sekali kehilangan motivasi, maupun inspirasi
e.
Mudah
bertindak melampaui batas (kebablasan) atau sebaliknya yaitu tidak berani
bertindak karena terlalu hati-hati yang akhirnya tidak berbuat apa-apa.
Kecerdasan
Spiritual (SQ) berkenaan dengan penanaman, pemahaman serta pengamalan
nilai-nilai agama dalam kehidupan sehari-hari dalam bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara. Orang yang memiliki kecerdasan spiritual, sikap dan perbuatannya
selalu dipancari nilai-nilai agama yang diyakini yang memiliki kebenaran
mutlak. Di dalam pikiran manusia bersemayam suatu titik yang disebut Titik Tuhan
(God Spot) atau hati nurani atau kata
hati atau ada yang menyebut dengan Insan Qolbu. Titik inilah yang menjadi pilar
dari kecerdasan spiritual. Adapula yang menyebutnya dengan kecerdasan hati.
Kecedasan Spiritual atau kecerdasan hati dapat diasah atau dilatihkan.
Kecerdasan hati dapat menjadi cerdas dengan cara membiasakan dalam setiap
menangkap, memahami serta mengamini kebenaran selalu menggunakan hati. Hati
yang diberikan oleh Sang Pencitpa Tuhan Yang Maha Esa pada dasarnya baik dan
bersih. Suara hati atau Insan Qolbu tersebut selalu mengarahkan orang untuk
bersikap dan berbuat baik. Dalam perkembangannya sangat bergantung pada
lingkungan di tempat dia dibesarkan. Disinilah dibutuhkan adanya pembiasaan
atau dilatihkan.
Orang
yang cerdas secara spiritual, adalah orang yang memiliki kelebihan-kelebihan
sebagai berikut , antara lain :
a.
Kuat
tapi tidak keras karena memiliki kelenturan. Orang seperti ini ibarat air pelan
namun pasti batu yang demikian kuat sekalipun bisa habis terkikis olehnya.
b.
Tahu
akan kemampuan diri sendiri, karena selalu mau introspeksi diri, sehingga sadar
diri
c.
Kualitas
hidupnya didasarkan pada visi ke masa depan dan selalu berpedoman pada
nilai-nilai kebenaran. Masa lalu merupakan pengalaman yang dipakai sebagai
pijakan dalam mejalani kehidupan hari ini, dan kemudian dipakai merancang
kehidupan di masa depan. Semua itu didasarkan pada nilai-nilai kebenaran agama
yang diyakini.
d.
Memiliki
kemampuan untuk tidak melakukan hal yang tidak penting. Orang yang memiliki
kecerdasan religius tidak pernah membuang-buang waktunya secara percuma. Segala
aktivitas yang dikerjakan bermanfaat guna kehidupan hari ini maupun di kemudian
hari
e.
Memiliki
kemampuan untuk menemukan alasan, jawaban dan makna hidup. Orang yang memiliki
kecerdasan spiritual memahami betul apa, mengapa dan bagaimana cara hidup yang
benar. Oleh karena itu setiap gerak langkahnya selalu beralasan dan diarahkan
untuk menjawab makna hidup yang dipahami.
f.
Memiliki
kemampuan untuk menolong dan berbuat baik kepada orang lain. Orang yang
memiliki kecerdasan spiritual memiliki kesadaran bahwa semua makhluk yang ada
di bumi adalah ciptaanNYA, maka kesadaran ini mendorong dan menjadi alasan
seseorang untuk menolong orang lain.
Sementara
orang yang tidak memiliki kecerdasan spiritual karena tidak mau mendengarkan
suara hatinya, memiliki kekurangan-kekurangan sebagai berikut :
a.
Cenderung
menjadi fanatisme buta terhadap kebenaran maupun keyakinan karena tidak
dicerahkan oleh intelektualnya
b.
Orangnya
menjadi sadis, brutal dan cenderung melakukan tindakan negative
c.
Mudah
sekali lepas kontrol dan menyalah gunakan kekuasaan
Apabila
menyimak uraian tersebut di atas maka dapat ditarik simpulan bahwa warga Negara
yang ingin dibentuk melalu mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan adalah
warga Negara yang memiliki multi kecerdasan atau kecerdasan yang utuh. Yakni
warga Negara yang memiliki kecerdasan spiritual, kecerdasan emosional,
kecerdasan intelektual dan kecerdasan moral. Dengan kata lain wrga Negara yang
dibentuk adalah warga Negara yang cerdas otak/akalnya, cerdas perasaannya,
cerdas hatinya dan cerdas moralnya.
C. Warga Negara Yang
Bertanggung Jawab
Sebelum
membahas karakterisik warga Negara yang bertanggung jawab, terlebih dulu akan
dibahas tentang apa yang dimaksud dengan tanggung jawab. Ridwan Halim (1988)
mendefinisikan tanggung jawab sebagai suatu akibat lebih lanjut dari
pelaksanaan peranan, baik peranan itu berupa hak, kewajiban maupun kekuasaan.
Dengan demikian secara umum tanggung jawab diartikan sebagai kewajiban untuk
melakukan sesuatu atau berperilaku menurut cara tertentu. Sementara Purbacaraka
(1988) mengatakan bahwa tanggung jawab merupakan sesuatu yang lahir atau
bersumber pada penggunaan fasilitas dalam penerapan kemampuan tiap orang untuk
menggunakan hak dan/atau kewajibannya. Lebih lanjut ditegaskan bahwa setiap
pelaksanaan kewajiban dan hak, baik yang dilaksanakan secara memadai maupun
tidak memadai pada dasarnya tetap harus disertai dengan pertanggung jawaban.
Demikan juga hal di dalam penggunakan kekuasaan.
Dari
uraian tersebut di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa tanggung jawab erat
kaitannya dengan penggunaan hak dan kewajiban serta kekuasaan. Artinya tanggung
jawab melekat dalam hak, kewajiban serta kekuasaan yang dimiliki seseorang.
Setiap kali orang melaksanakan hak, melaksanakan kewajiban maupun melaksanakan
kekuasaannya akan disertai pula dengan tanggung jawab.
Ada
beberapa hal atau aspek yang perlu diperhatikan pada saat seseorang menggunakan
haknya, antara lain :
a.
Aspek
kekuatan yang di dalamnya berisikan tentang kekuasaan dan wewenang. Maksudnya
bahwa betapapun besar dan mutlaknya hak yang dimiliki seseorang, namun bilamana
pemegangnya tidak memiliki wewenang atau kekuasaan maka semua hak yang dimiliki
tersebut sama sekali tidak punya arti atau tidak ada gunanya.
b.
Aspek
perlindungan hukum yang memberikan kekuatan. Melalui perlindungan hukum
tersebut mensyahkan atau melegalisir hak seseorang sehingga memiliki kekuasaan
atau wewenang untuk menggunakannya.
c.
Aspek
pembatasan hukum yang membatasi seseorang dalam menggunakan haknya supaya tidak
sampai melampaui batas. Maksudnya dalam menggunakan haknya, seseorang dibatasi
hukum supaya tidak melampaui kepantasan dan kelayakan yang dapat menimbulkan
kerugian pada pihak lain.
Berdasarkan
uraian tersebut di atas menunjukan kepada kita bahwa seseorang di dalam
menggunakan haknya tidak bisa dilakukan secara mutlak. Artinya meskipun itu
haknya tetapi dalam penggunaannya dibatasi oleh hak orang lain. Oleh karena itu
dalam menggunakan hak harus memperhatikan atau mempertimbangkan hak orang lain.
Setiap orang pasti memiliki hak sekaligus kewajiban. Bahkan antara hak dan
kewajiban ibarat sekeping mata uang. Dibalik hak ada kewajiban yang harus
dilakukan, demikian sebaliknya.
Ada
beberapa aspek atau hal yang perlu diperhatikan pada saat melaksanakan kewajiban,
antara lain:
a.
Aspek
kemungkinan atau kelogisan, maksudnya bahwa adanya kemungkinan atau kemampuan
bagi pihak berkewajiban untuk melaksanakan kewajiban tersebut sebagaimana
mestinya.
b.
Aspek
perlindungan hukum, maksudnya bahwa adanya perlindungan hukum yang melegalisir
atau mensahkan pihak yang berkewajiban yang akan melindungi yang bersangkutan
dari segala macam tuntutan manakala ia telah melaksanakan kewajibannya.
c.
Aspek
pembatasan hukum, maksudnya adalah adanya pembatasan secara hukum yang
diberikan kepada pihak berkewajiban sehingga hal tersebut akan menjaga atau
membatasi supaya dalam menjalankan kewajibannya jangan sampai kurang dari batas
minimal kewajiban,, sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pihak lain. d.
Aspek pengecualian hukum, yaitu adanya pertimbangan hukum yang merupakan aspek
pengecualian yang diberikan kepada seseorang dalam melaksanakan kewajibannya
dengan tidak memadai.
Aristoteles
(dalam Nurmalina dan Saifullah : 2008 : 45) mengatakan bahwa warga negara yang
bertanggung jawab adalah warga Negara yang baik, dan warga negara yang baik
adalah warga negara yang memiliki keutamaan atau kebajikan sebagai warga
negara. Terkait dengan hal keutamaan dan kebajikan ini, Plato mengatakan ada
empat keutamaan atau kebajikan yang dihubungkan dengan tiga bagian jiwa
manusia. Adapun keempat keutamaan yang dimaksud adalah :
1.
Pengendalian
diri (temperance), hal ini dihubungkan dengan nafsu
2.
Keperkasaan
(fortitude), hal ini dihubungkan dengan semangat
3.
Kebijaksanaan
atau kearifan, hal ini dihubungkan dengan akal
4.
Keadilan,
hal ini dibhubungkan dengan ketiga bagian jiwa manusia sebelumnya (pengendalian
diri, keperkasaan dan kebijaksanaan/kearifan)
Hal
ini dapat disederhanakan melalui visualisasi table berikut :
Tabel
1 : Kebajikan atau keutamaan manusia
Keutamaan atau
kebajikan
|
Jiwa manusia
|
•
Pengendalian diri (temperance)
•
Keperkasaan (fortitude)
•
Kebijaksanaan atau kearifan
•
Keadilan
|
•
Nafsu (ephitumia)
•
Semangat (thumos)
•
Akal (nous)
•
Nafsu, semangat dan akal
|
Aristoteles
sebagai murid dari Plato memiliki pendapat yang berbeda dengan pendapat
gurunya. Aristoteles (dalam Nurmalina dan Saifullah : 2008 : 46) berpandangan
bahwa keutamaan atau kebajikan manusia sesuai peran dan fungsinya yang ada harus
di lihat secara utuh. Terkait dengan ini fungsi dan peran warga negara
berbeda-beda satu dengan yang lainnya, apalagi bila di lihat di dalam negara
pasti memiliki warga negara yang beragam atau berbeda-beda. Aristoteles
mengatakan bahwa kebajikan seluruh warga negara suatu negara tidak mungkin
satu, melainkan beragam atau berbeda-beda yaitu sesuai dengan fungsi dan peran
yang dimiliki masing-masing.
Pendapat
Aristoteles tentang kebajikan atau keutamaan ini nampaknya lebih realistis dan
masih relevan bila dikaitkan dengan konteks kehidupan warga negara saat ini.
Adanya keberagaman individu warga negara dengan status dan perannya
masing-masing berbeda satu dengan yang lainnya, merupakan suatu realitas yang
tidak terbantahkan, termasuk di dalam merealisasikan fungsi dan peran yang
dimiliki berbeda-beda pula.
Warga
Negara yang bertanggung jawab akan selalu berusaha melaksanakan dan menggunakan
hak dan kewajibannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku
seoptimal mungkin. Warga negara yang cerdas, dalam melaksanakan hak dan
kewajiban yang dimiliki akan selalu berupaya mengetahui ruang lingkup tanggung
jawab yang harus diembannya. Apabila dicermati, ada beberapa tanggung jawab
yang harus diemban dan dilaksanakan oleh warga negara, antara lain :
1.
Tanggung jawab pribadi meliputi :
a.
Tanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa
b.
Tanggung jawab terhadap diri sendiri
2.
Tanggung jawab sosial, meliputi :
a.
Tanggung jawab terhadap masyarakat
b.
Tanggung jawab terhadap lingkungan
c.
Tanggung jawab terhadap bangsa dan Negara
Adapun
penjelasan masing-masing sebagai berikut ini :
Ad 1 : Tanggung Jawab
Terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Sebagaimana
diketahui bahwa Indonesia adalah negara yang berdasar atas Ketuhanan Yang Maha
Esa. Hal ini di dasarkan pada sila I Pancasila yakni Ketuhanan Yang Maha Esa
dan UUD 1945 pasal 29 ayat (1) berbunyi : Negara berdasar atas Ketuhanan Yang
Maha Esa, pasal 29 ayat (2) berbunyi : Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap
penduduk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agama dan
kepercayaannya itu.
Berdasarkan
landasan idiil sebagaimana tercantum dalam Pancasila sila I dan konstitusioal
yang tercantum pada pasal 29 ayat (1) dan (2) UUD 1945 tersebut mewajibkan
kepada setiap warga negara Indonesia untuk senantiasa melandasi sikap dan
perilakunya dengan nilai-nilai keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha
Esa.
Tanggung
jawab warga Negara terhadap Tuhannya diwujudkan dengan melaksanakan semua
perintah dan mejauhi larangan-laranganNYA. Hal ini masing-masing akan
dimanifestasikan dalam bentuk sikap dan perilaku dalam kehidupan sehari-hari di
masyarakat. Kesemuanya itu dipancari oleh nilai-nilai keimanan dan ketakwaan
terhadap TYME dalam melakukan hubungan atau interaksi dengan sesama di dalam
kehidupan masyarakat. Tuhan mengajarkan kepada setiap hambaNYA untuk menjalin
hubungan yang baik dan harmonis dengan siapa saja dengan tanpa memandang
perbedaan suku, ras, agama, warna kulit, bahasa, maupun perbedaan-perbedaan
yang lain. Di hadapan Tuhan YME manusia tidak dinilai karena kedudukan,
jabatan, harta kekayaan yang dimiliki, status sosial maupun titel atau
pengetahuan yang dimiliki. Di mata Tuhan YME nilai manusia teletak pada derajat
keimanan dan ketakwaannya kepadaNYA.
Ada
beberapa cara dalam mengimplementasikan bentuk tanggung jawab warga negara
terhadap Tuhan YME, diantaranya :
a.
Mensyukuri
segala nikmat yang telah dikaruniakan-NYA kepada kita
b.
Taat
beribadah sesuai dengan agama dan keyakinan masing-masing
c.
Melaksanakan
segala perintah-NYA dan menjauhi segala laranganNYA
d.
Terus
menuntut ilmu sepanjang hayat serta menggunakan demi kebaikan umat manusia
e.
Menjalin
tali silaturahmi atau persaudaraan dengan siapa saja guna menciptakan kehidupan
yang aman, tenteram , damai dan sejahtera
Ad 2 : Tanggung Jawab
Terhadap Masyarakat
Sebagai
mahluk sosial manusia tidak bisa lepas dari masyarakat. Frans Magnis Suseno
(1993) mengatakan bahwa kebermaknaan manusia itu jika ia hidup di masyarakat.
Hal ini dapat dimaklumi mengingat manusia sebagai mahluk social tidak bisa
lepas dari keberadaan manusia lain. Artinya manusia dalam memenuhi semua
kebutuhan hidup agar dapat tetap mempertahankan kelangsungan hidupnya selalu
membutuhkan orang lain. Sehingga manusia sepanjang hayatnya selalu membutuhkan
orang lain, mulai lahir bahkan sejak masih ada di dalam Rahim seorang ibu
sampai meninggal membutuhkan orang lain. Dalam kaitan inilah dikatakan bahwa
manusia sebagai anggota masyarakat senantiasa cenderung hidup berkelompok /
bermasyarakat.
Sebagai
anggota masyarakat, perwujudan tanggung jawabnya dapat
dilaksanakan
dalam bentuk sikap dan perilaku sebagai berikut :
a.
Memelihara
keamanan dan ketertiban masyarakat
b.
Menjaga
dan memelihara persatuan dan kesatuan masyarakat
c.
Meningkatkan
rasa kesetia kawanan sosial di antara sesama anggota masyarakat
d.
Menghindari
sikap dan tindakan diskriminatif dalam rangka menghindari terjadinya perpecahan
di masyarakat, bangsa dan negara
Ad 3 : Tanggung Jawab
Terhadap Lingkungan
Manusia
dan lingkungan memiliki hubungan yang sangat erat satu sama lain dan tidak
dapat dipisahkan. Manusia selalu membutuhkan lingkungan sebagai tempat hidup
dan tempat kehidupannya, sementara untuk memelihara kelestariannya lingkungan
membutuhkan campur tangan manusia. Sumaatmaja (1998) mengatakan bahwa manusia
dan alam ada dalam konteks keruangan yang saling mempengaruhi. Hanya saja
tingkat pengaruh yang diberikan manusia terhadap lingkungan ditentukan oleh
ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) yang dikuasai. Berdasarkan Iptek
tersebut hubungan manusia dengan alam dapat dikelompokkan menjadi tiga :
a.
Kelompok
manusia yang masing sangat tergantung kepada alam
b.
Kelompok
manusia yang baru mampu menyesuaikan dengan alam
c.
Kelompok
manusia yang sudah mampu mengelola serta memanfaatkan alam
Tanggung
jawab yang dimiliki manusia dalam melakukan hubungan dengan lingkungan alam
tidaklah ringan. Manusia dituntut memiliki sikap dan dan perilaku, antara lain
:
a.
Memelihara
dan menjaga kebersihan lingkungan
b.
Mengeksploitasi
lingkungan sesuai kebutuhan, dan tidak dilakukan secara berlebihan
c.
Menggunakan
teknologi ramah lingkungan
Apabila
setiap individu di dalam masyarakat dapat melaksanakan hubungannya dengan
lingkungan secara bertanggung jawab seperti yang di uraikan di atas, niscaya
kehidupan di dalam masyarakat akan dapat berjalan dengan tertib, aman, damai
serta penuh dengan romantika dan keindahan. Penggunakan teknologi yang ramah
lingkungan dalam pemaantaatan potensi alam, disamping dapat meningkatkan
kesejahteraan hidup , juga akan dapat menjaga kelestariannya. Oleh karena itu,
manusia harus mampu menguasai teknologi, bukan sebaliknya, teknologi yang
menguasai manusia. Dengan menguasai teknologi manusia akan dapat mengendalikan
tehnologi tersebut sesuai dengan keinginannya. Kerusakan alam lingkungan seringkali
terjadi sebagai akibat ketidak mampuan manusia menguasai teknologi atau
teknologi sudah menguasai manusia itu sendiri.
Ad 4 : Tanggung Jawab
Terhadap Bangsa dan Negara
Kelangsungan
hidup serta maju mundurnya suatau bangsa menjadi tanggung jawab warga
negaranya. Berdirinya suatu Negara karena keinginan bersama dari warga
negaranya. Konsekunsinya bahwa untuk mempertahankan kelangsungan hidup Negara
yang didirikan menjadi tanggung jawab semua warganegara. Demikian pula keadaan
suatu bangsa, apakah bangsa itu maju, berkembang, bahkan mengalami kemuduran
sangat bergantung dan menjadi tanggung jawab warganya sendiri.
Sebagai
warga Negara Indonesia sudah menjadi tugas dan tanggung jawab kita semua untuk
mempertahankan kelangsungan hidup bangsa dan Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Tanpa adanya partisipasi (sebagai bentuk tanggung jawab) seluruh
warga negara, tidak menutup kemungkinan bangsa dan negara ini bisa mengalami
kehancuran. Apalagi jika kita ingin mewujudkan tujuan dan cita-cita nasional
sesuai dengan yang diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945. Hal itu menuntut semua
kita melakukan tanggung jawab sebagai warga negara secara konsisten dan
konsekuen. Semua itu dapat diwujudkan dalam bentuk sikap dan perilaku kehidupan
sehari-hari berupa :
a.
Memahami,
menghayati serta mengamalkan nilai-nilai Pancasila dalam segala
a.
aspek
kehidupan sehari-hari
b.
Menjaga
dan memelihara nama baik bangsa dan negara
c.
Menjaga
persatuan dan keutuhan bangsa
d.
Membina
kesetiakawanan sosial diantara sesame warga negara Indonesia
e.
Meningkatkan
wawasan kebangsaan.
D. Warga Negara
partisipatif
Setiap
bangsa dan Negara mengharapkan warganya ikut berpartisipasi atau terlibat dalam
setiap kegiatan pembangunan yang dilakukan. Bentuk dan wujud partisipasi sangat
beragam, dapat berupa fisik dan non fisik. Partisipasi dilakukan dengan
berbagai alas an/landasa, seperti : karena paksaan dengan disertai sanksi,
ajakan orang/kelompok lain atau kesadaran sendiri. Partisipasi yang paling baik
adalah partisipasi yang dilakukan seseorang karena kesadaran dan kemauan
sendiri. Koentjaraningrat (1994) mengatakan ada tiga bentuk partisipasi : (1)
berbentuk tenaga, (2) berbentuk pikiran, dan (3) berbentuk materi atau benda.
Partisipasi
dalam bentuk tenaga, di mana warga negara terlibat atau ikut serta dalam
berbagai kegiatan melalui tenaga yang dimilikinya. Partisipasi dalam bentuk ini
seringkali disebut dengan partisipasi fisik. Contoh partisipasi dalam bentuk
fisik, seperti : ikut serta telibat dalam kerja bakti atau gotong royong yang
dilaksana di lingkungan RT, RW dan sebagainya.
Partisipasi
dalam bentuk pikiran, di mana warga Negara dapat terlibat atau ikut serta
dengan cara menyumbangkan ide, gagasan atau pemikiran dalam memecahkan
persoalan-persoalan yang dihadapi bersama serta untuk kebaikan bersama. Contoh
partisipasi dalam bentuk ini, seperti : menyampaikan saran atau memberikan
masukan kepada pihak pemerintah baik dengan cara lisan maupun tertulis melalui
media (Koran, majalah, radio atau televisi) dan disampaikan dengan cara dan
bahasa yang santun dan bersifat membangun.
Sedangkan
partisipasi dalam bentuk materi atau benda adalah keterlibatan atau
keikutsertaan warga negara dalam suatu kegiatan yang diwujudkan dalam bentuk
materi maupun benda tertentu. Contoh partisipasi dalam bentuk ini, seperti :
memberikan sumbangan berupa uang atau barang pada korban bencana alam, atau
memberikan dana bantuan kepada warga negara yang sedang dilanda banjir di
daerah tertentu, dan sebagainya.
Berpartisipasi
merupakan salah satu ciri sebagai warga negara yang baik. Seseorang dengan alas
an apapun tidak boleh tidak berpartisipasi, karena berpartisipasi merupakan
kewajiban warga negara dan sebagai wujud pemiliki kedaulatan rakyat.
Pelaksanaan kehidupan bermasyarakat, berbangsa yang demokratis dapat terhambat
sebagai akibat tidak adanya partisipasi dari warganya. Pemerintahan demokrasi
sebagaimana yang dikemukakan Abraham Lincoln, adalah pemerintahan yang berasal
dari rakyat, dilaksanakan oleh rakyat dan ditujukan untuk rakyat. Dari
pengertian tersebuti, demokrasi hakikatnya adalah partisipasi. Dalam kaitan
inilah maka partisipasi sangat penting artinya dalam kehidupan suatu negara.
Dari
uraian tersebut di atas, dapat dirumuskan bahwa partisipasi merupakan
keikutsertaan atau keterlibatan warga negara dalam proses bernegara,
berpemerintahan dan bermasyarakat. Ada tiga unsur yang harus dipenuhi untuk
dapat dikatakan warga Negara berpatisipasi, yaitu (a) ada rasa kesukarelaan
atau tanpa adanya paksaan, (b) adanya keterlibatan secara emosional, dan (c)
adanya manfaat yang diperoleh dari keterlibatannya.
Warga
negara partisipatif adalah warga negara yang senantiasa melibatkan diri atau
ikut serta dalam berbagai kegiatan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara pada berbagai aspek kehidupan nasional. Partisipasi warganegara
meliputi berbagai aspek kehidupan nasional seperti, aspek politik (pol), aspek
ekonomi (ek), aspek sosial budaya (sosbud) dan yang lainnya. Membentuk warga
negara yang partisipatif bukanlah hal yang mudah, semudah kita mengucapkan.
Mewujudkan warga negara yang partisipatif membutuhkan kesadaran dan komitmen
yang tinggi.
1. Partisipasi pada
aspek Politik
Ada
beberapa pendapat yang terkait dengan partisipasi politik sebagaimana di
sampaikan berikut ini, antara lain :
a.
Rush
dan Athof (1993) dalam Nurmalina (2008) mengemukakan bahwa partisipasi politik
dimaksudkan adalah keikutsertaan atau keterlibatan individu warga negara dalam
sistem politik. Rush dan Athof hanya memberikan pengertian tentang partisipasi
politik ini pada setiap kegiatan yang diikuti warga negara pada setiap kegiatan
politik yang ada.
b.
Huntington
dan Nelson (1990) memberikan difinisi partisipasi pada aspek politik ini
sebagai kegiatan warga negara preman (sipil : penulis) yang bertujuan
mempengaruhi pengambilan keputusan oleh pemerintah.
Berbeda
dengan pendapat Rush dan Athof di atas, Huntington dan Nelson melihat bahwa di
dalam partisipasi politik ini ada tiga hal yang terkandung di dalamnya. Adapun
ketiga hal yang dimaksudkan adalah (1) partisipasi meencakup kegiatan-kegiatan
politik yang obyektif, bukan kegiatan-kegiatan politik yang subyektif; (2) yang
dimaksudkan dengan warga negara preman adalah warga Negara sebagai perseorangan
(individu) dalam berhadapan dengan masalah politik; (3) kegiatan yang dilakukan
dalam partisipasi politik difokuskan untuk mempengaruhi pengambilan kebijakan
pemerintah.
Dari
beberapa pengertian yang dikemukakan para pakar di atas, dapat disimpulkan
bahwa yang dimaksudkan dengan partisipasi politik tidak lain adalah keikut
sertaan atau keterlibatan setiap warga negara dalam kegiatan-kegiatan sistem
politik yang ada, di mana hal tersebut berlangsung disesuaikan dengan kemampuan
yang dimiliki oleh masing-masing warga negara yang bersangkutan.
Secara
teori partisipasi politik dapat diklasifikasikan menjadi dua, yakni partisipasi
politik konvensional dan partisipasi non konvensional. Di dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara partisipasi politik konvensional
dianggap sebagai partisipasi yang normal. Partisipasi politik ini merupakan hal
yang biasa dilakukan di dalam negara demokrasi modern. Bentuk-bentuk
partisipasi politik konvensional ini dapat berupa : pemberian suara (voting),
diskusi politik, kampanye, membentuk kelompok kepentingan, komunikasi aktif
dengan pejabat politik atau pemerinta.
Sementara
partisipasi politik non konvensional dimaksudkan merupakan partisipasi politik
yang dilakukan dengan penuh kekerasan atau dilakukan secara revolusioner.
Karena partisipasi dalam bentuk ini dilakukan dengan cara-cara kekerasan atau
bersifat revolusioner, maka sering dianggap sebbagai partisipasi yang illegal.
Bentuk-bentuk partisipasi politik non-konvensional antara lain : petisi,
demontstrasi, konfrontasi, mogok, tindakan kekrasan politik terhadap benda atau
manusia, perang gerilya , revolusi dan sebagainya.
Beberapa
contoh partisipasi politik yang dapat dilakukan warga negara sesuai dengan
kemampuan yang dimiliki masing-masing :
a.
Mengkritisi secara arif kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah
Warga
Negara yang baik senantiasa mau merespon dan mengkritisi berbagai kebijakan
yang ditetapkan pemerintah. Warga Negara bukan waktunya lagi menerima secara
membabi buta setiap kebijakan yang ditetapkan pemerintah, melainkan dituntut
mau dan mampu memberikan tanggapan berupa kritik atau masukan yang konstruktif.
Di dalam budaya politik parokial, partisipasi politik warga negaranya sangat
rendah. Warga negara lebih bersifat pasif, cenderung hanya menerima begitu saja
produk-produk politik yang dihasilkan pemerintah. Di negara yang budaya
politiknya bersifat parokial kebijakan-kebijakan yang ada dalam kaitan dengan
pembangunan nasional bersifat to-down. Setiap negara demokrasi modern seperti
sekarang ini mengarapkan partisipasi politik masyarakat sebagai masukan dan perbaikan
pembangunan yang dilakukan.
Kritik
dan masukan dapat disalurkan dengan berbagai macam cara, diantaranya dengan
melakukan demonstrasi atau unjuk rasa secara damai dan dilakukan sesuai dengan
peraturan-perundang-undangan yang berlaku. Karena konstitusi (UUD 1945) sendiri
memberikan jaminan pada warga negara untuk mengemukakan pendapat di depan umum
baik secara lisan maupun tertulis. Hak dan kewajiban warga Negara tersebut
dijabarkan dan diatur lebih lanjut dalam Undang Undang Nomor 9 tahun 1998 yang
mengatur tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum. Dengan
ditetapkannya undang undang tersebut memberikan peluang terbuka bagi semua
warga masyarakat untuk mengajukan berbagai gagasan atau pandangan terkait
dengan kebijakan-kebijakan pemerintah, dengan ketentuan harus dilakukan secara
positif.
b.
Aktif dalam sebuah partai politik
Partai
politik merupakan suatu kelompok yang ada di masyarakat yang dilakukan secara
terorganisir dan anggota-anggotanya memiliki orientasi, nilai dan cita-cita yang
sama. Tujuan dari partai politik adalah untuk memperoleh kekuasaan politik
dengan jalan merebut kekuasaan yang dilakukan secara konstitusional. Pada era
reformasi sekarang ini peluang untuk terlibat dalam partai politik sangat
terbuka. Kondisi ini dimanfaatkan dengan baik oleh anggota masyarakat, terbukti
jumlah partai politik yang ada sekarang sekitar 39 partai politik.
c.
Aktif dalam kegiatan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
Istilah
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau sering pula disebut Organisasi Non
Pemerintah (ORNOP) atau dalam bahasa Inggrisnya Non Government Organisation (NGO) merupakan suatu wadah bagi
masyarakat untuk mewujudkan partisipasi politik, yang bersifat memberikan
pengawasan terhadap jalannya pemerintahan dalam rangka menuju pemerintahan yang
baik, transparan dan bertanggung jawab.
d.
Aktif melakukan Diskusi Politik
Belakangan
diskusi politik sebagai bentuk salah satu partisipasi politik masyrakat
berkembang dengan pbegitu pesat. Berbagai kegiatan dilakukan terkait hal itu,
baik yang dilaksanakan secara langsung melalui forum-forum diskusi, seminar
maupun saresahan, maupun melalui kegiatan-kegiatan yang difasilitasi media
massa baik TV, Koran dengan cara melibatkan partisipasi aktif anggota
masyarkat. Berbagai kegiatan tersebut dikemas sedemikian rupa sehingga menarik
bagi anggota masyarakat mengikuti atau terlibat di dalamnya. Untuk memperoleh
respon positif dari masyarakat, tema-tema yang diangkat menjadi tema diskusi
adalah wacana-wacana politik yang sedang hangat dan aktualdi masyarakat. Proses
politik yang berlangsung melalui diskusi politik tersebut dapat dijadikan salah
satu bentuk pendidikan politik yang efektif guna meningkatkan pengetahuan dan
pendewasaan politik masyarakat.
Di
dalam melakukan partisipasi politik, agar dapat berjalan dengan baik, perlu
memperhatikan beberapa hal sebagai berikut ini :
1)
Sikap
apatis yaitu sikap yang tidak memiliki rasa kepudian atau minat atau perhatian
kepada orang lain.
2)
Sikap
sinis, maksudnya adanya perasaan curiga kepada orang. Politik dianggap sebagai
hal-hal yang terkait dengan urusan yang koto-kotor, sehingga politisi tidak
dapat dipegang omongannya atau tidak dapat dipercaya. Dalam kaitan ini
seringkali masyarakat mengumpamakan seperti : “isuk tempe sore dele” maksudnya pagi bilangnya A, sore hari sudah
berubah menjadi Z.
3)
Alienasi,
maksudnya masyarakat merasa bahwa politik itu sesuatu hal yang asing. Mereka
cenderung berpikir politik dan pemerintahan dilakukan orang lain dan juga
diperuntukkan untuk orang lain.
4)
Anomie,
maksudnya adanya suatu perasaan yang dimiliki masyarakat di mana mereka merasa
kehilangan nilai dan arah. Masyarakat merasa tidak dipedulikan oleh pihak
penguasa, sehingga mengakibatkan hilangnya gairah dan keinginan untuk
berpartisipasi.
2. Partisipasi pada
aspek Sosial
Partisipasi
social terkait erat dengan keterlibatan atau keikut sertaan warga negara dalam
dalam kegiatan-kegiatan social kemasyarakatan. Partisipasi sosial ini dapat
berjalan dengan baik apabila setiap individu warga negara memiliki kepekaan sosial,
yaitu suatu kondisi di mana individu warga negara mudah merespon atau bereaksi
manakala ada masalah di masyarakat. Dimilikinya perasaan ini oleh warga negara
menjadi pendorong timbulnya partisipasi social. Dengan kata lain, partisipasi
sosial dalam kehidupan, bermasyarkat, berbangsa dan bernegara dapat berjalan
dengan baik, jika dalam setiap diri warga negara tumbuh dan berkembang kepekaan
sosial.
Partisipasi
sosial dapat diwujudkan dengan berbagai cara, seperti :
a.
Membantu
orang lain sesuai dengan kemampuan yang dimiliki, baik berupa moril maupun
materiil
b.
Membantu
memberikan solusi terhadap suatu permasalahan yang dialami orang lain maupun
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara
c.
Menjadi
penggerak atau agen perubahan dan bukan menjadi beban bagi masyarakat
d.
Ikut
serta dalam kegiatan-kegiatan yang dilakukan di masyarakat
e.
Ikut
menjaga keamanan dengan melakukan siskamling
f.
Ikut
menjaga keutuhan masyarakat, bangsa dan Negara dengan selalu menempatkan
kepentingan umum di atas kepentingan pribadi, kelompok maupun golongan
3. Partisipasi dalam
bidang Ekonomi
Partisipasi
dalam bidang ekonomi merupakan keikutsertaan atau keterlibatan warga negara
dalam pembangunan ekonomi bangsa. Keterlibatan warga negara dalam bidang
ekonomi sangat diharapkan, karena hal tersebut penting artinya agar dapat
mendorong pertumbuhan dan pertumbuhan ekonomi negara. Warga negara dapat
melakukan partisipasi dalam aspek ekonomi dengan cara :
a.
Taat
membayar pajak
b.
Bersikap
hemat dengan menggunakan dana yang ada sesuai kebutuhan
c.
Rajin
menabung guna menyiapkan masa depan
d.
Mau
menyisihkan harta untuk orang-orang yang membutuhkan
e.
Tidak
menggunakan fasilitas negara demi kepentingan pribadi, kelompok maupun golongan
f.
Dapat
mengembangkan jiwa kewirausahaan dan menciptakan lapangan pekerjaan bagi orang
lain
4. Partisipasi pada
aspek Budaya
Sebagaimana
diketahui bersama, bahwa bangsa Indonesia adalah suatu bangsa yang masyarkatnya
sangat majemuk dalam berbagai aspek kehidupan agama, ras, adat istiadat, antar
golongan (SARA). Keragaman tersebut merupakan suatu anugrah yang patut dijaga
dan dilestarikan dan bahkan dikembangkan kea rah yang lebih baik lagi. Untuk
itu partisipasi dari seluruh warga negara sangat dibutuhkan.
Berikut
merupakan beberapa contoh partisipasi dalam aspek budaya, seperti :
a.
Mencintai
budaya-budaya lokal dan juga budaya nasional, misalnya : dengan mencintai
produk-produl daerah sendiri dan produk dalam negeri
b.
Tidak
bersikap etnosentrisme ataupun chauvisisme, dengan terlalu mengagung-agungkan
daerah atau bangsa sendiri dan menganggap yang lain lebih rendah
c.
Selalu
berinovasi dan berkreasi untuk mengembangkan budaya daerah sekaligus budaya
nasional
Partisipasi
warga Negara dalam berbagai aspek kehidupan sangat diperlukan dalam rangka
mewujudkan tujuan maupun cita-cita nasional yang diinginkan. Tanpa adanya
partisipasi dari seluruh waganya, cita-cita maupun tujuan yang diinginkan
bangsa yang bersangkutan mustahil dapat terwujud. Partisipasi warga negara yang
baik dan bertanggung jawab dapat ditingkatkan dengan cara:
a.
Menambah
pengetahuan masyarakat, mengingat masyarakat akan dapat melakukan partasipasi
dengan benar jika mereka memiliki pengetahuan yang benar tentang hal itu.
b.
Memberikan
latihan kepada masyarkat akan keterampilan untuk berpartisipasi.
c.
Mengembangkan
karakter masyarakat
d.
Melakukan
komitmen-komitmen dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.