Biola
biasanya terbuat dari kayu dan diproduksi oleh luar negeri.
Namun
saat ini, di Indonesia tepatnya dari Kudus Provinsi Jawa Tengah, Ngatmin
seorang kreator biola dari bahan bambu berhasil menghasilkan produk biola yang
unik dan berkualitas.
Kualitas
biola bambu khas Kudus tak kalah dengan biola produk luar negeri. Perajin biola
Kudus berharap bantuan pemerintah sehingga karya mereka bisa memasuki pasar
dunia.
Ngatmin
(36) warga Desa Japan, Kecamatan Dawe, Kabupaten Kudus, tidak menyangka
diundang televisi swasta nasional di Jakarta untuk memperkenalkan kerajinan
tangan kebanggaannya itu pada 2014 lalu. Bersanding dengan Bupati Kudus M
Mustofa dan dosen dari Universitas Diponegoro (Undip) dia mengaku
berbunga-bunga.
"Tidak
menyangka bisa sampai Jakarta. Bersama Pak Bupati saya menunjukkan produk
berupa biola terbuat dari bambu yang merupakan satu-satunya di Indonesia bahkan
di dunia," jelasnya, Senin (6/4).
Produknya
itu pun sudah melalang buana ke berbagai pameran produk UKM di Indonesia. Tidak
seperti produk biola lainnya buatan Eropa ataupun Tiongkok, biola Ngatmin ini
terbuat dari bambu. Memang tidak semua bagian biola terbuat dari bambu. Ada
kombinasi dengan bahan kayu yang digunakan di bagian leher atau tempat jari.
Pada
bagian kepala, ada ukiran berbagai macam bentuk. Ada ukiran berbentuk kepala
manusia, kepala naga, kepala Bunda Maria, dan berbagai macam bentuk lainnya.
Tidak
sembarangan bambu yang ia gunakan. Bambu pilihan yang berdiameter lebar dan
biasanya hanya tumbuh di daerah pegunungan atau disebut bambu petung menjadi
pilihan Ngatmin. Dia juga menggunakan bambu jenis lain, yakni bambu wulung.
"Ada dua jenis bambu yang digunakan, petung dan wulung. Hal itu
berpengaruh terhadap suara yang dikeluarkan," terangnya.
Menurutnya,
jenis suara laki-laki antara lain bas dan tenor ada pada bambu wulung.
Sedangkan suara jenis perempuan, alto dan sopran hanya bisa dihasilkan dari
bambu petung. Sehingga dia membutuhkan dua bambu itu. Ada kelebihan yang
dimiliki biola yang terbuat dari bambu ketimbang biola terbuat dari kayu. Kata
Ngatmin, suara yang dihasilkan dari biola bambu lebih nyaring dan melengking.
Gesekan antara senar dengan gagang rambut terdengar nyaring ketika Ngatmin
memainkan biola hasil olahan tangannya itu.
Menurut
ayah satu putra ini, syarat kemampuan seseorang untuk membuat biola bambu yang
sempurna ada tiga, yakni orang itu tahu dasar pertukangan kayu, pandai mengukir
dan tahu musik.
Awal
dia terjun ke kerajinan pembuatan biola bambu, secara tidak sengaja. Pada 2009
dia ikut saudaranya ke Bogor. Di sana saudaranya membuka tempat kursus biola.
Kemudian dia berpikir, karena murid kursus banyak pastinya juga membutuhkan
biola banyak. Akhirnya dia berusaha membuat biola. Tidak langsung jadi, dia pun
harus belajar otodidak dari berbagai sumber termasuk dari situs multimedia
Youtube.
Beruntungnya,
dia memiliki keterampilan seni kayu. Pria kelahiran 30 Oktober 1977 ini pernah
bekerja di Jepara sebagai perajin ukiran kayu selama beberapa tahun.
Awal
pembuatan biola menggunakan bahan kayu. Namun di satu malam dia merenung. Dalam
perenungannya itu, terbesit di otaknya jenis alat musik lain yang memakai
bambu, misalnya suling dan angklung. "Kemudian saya berpikir kenapa tidak
membuat biola juga dari bambu. Dari situ saya mulai cara buat biola dari biola
yang sudah saya bongkar," ucapnya.
Tidak
ingin jauh dari keluarga, akhirnya dia pulang kampung ke Kudus dan membuka
usaha pembuatan biola. Sesampai di Kudus, dia mengikuti beberapa acara pameran
produk UKM. Dia juga membuat hardcase atau tempat penyimpanan biola hasil
keterampilan tangannya. Sentuhan Jawa pun tidak ketinggalan dengan membalutkan
kain batik khas Kudus pada hardcase.
Hasil
produk industri rumahannya sering diikutkan lomba UKM. Tidak sedikit
penghargaan yang telah digaetnya. Peminat bisa membeli biola khas Kudus di
rumah sekaligus bengkel Ngatmin di Desa Japan, Kecamatan Dawe, Kabupaten Kudus,
seharga sekitar Rp 3 juta.
Pria
yang mengantongi pendidikan akhir SD itu menginginkan pemerintah memperhatikan
produk UKM asli daerah, khususnya biola bambu miliknya. "Hambatan yang
dialami adalah soal pemasaran. Produk lokal seperti ini masih kalah dengan
produk luar negeri. Padahal kualitasnya setara atau bahkan melebihi,"
tandas Ngatmin.